Yak, Hari Valentine memang selalu
memancing ketubiran. Setidaknya kalau
tidak ada bahan buat tubir, Valentine ini harus disyukuri dan dirayakan karena
masuk agenda rutin dari hal-hal yang selalu pasti ditubirkan setelah Natal.
Urusan Valentine tahun ini,
beberapa Kota di Indonesia lewat Dinas Pendidikan setempat ramai-ramai
mengeluarkan surat yang melarang keras perayaan Valentine di kalangan pelajar
dengan alasan moral. Alasannya klise dari tahun ke tahun, yaitu demi melindungi
tindakan asusila dan melindungi moral bangsa. Belum lagi demo-demo yang diusung
berbagai kelompok untuk masyarakat umum di ruang publik, alasannya juga sama
masih soal asusila dan moralitas. Jika dikembalikan lagi kepada Valentine itu
sendiri, saya amat sangat ragu tentang tuduhan bahwa hari itu diciptakan atau
dirayakan hanya untuk ena-ena saja
yang berujung tubir nasional oleh para moralis NKRI.
Oke, ngeles halus misalnya “Hari
Valentine emang gak ngajarin buat bertindak asusila, tapi kan orang-orang yang
ngerayain banyak yang ngelakuin hal-hal begituan ujungnya, alesannya kasih
sayang”. Oke, bisa jadi itu benar adanya, tapi kalau dikaitkan dengan
maksiat bukankah tiap pergantian tahun, bulan puasa dan hingar bingar malam
takbir juga sudah amat sering didengar berita tentang kemaksiatan dan asusila?
Atau bahkan menemuinya sendiri?
Sejauh ini, saya gak melihat
corong keras penolakan terhadap kegiatan maksiat di hari-hari perayaan besar
lainnya. Kontras sekali, perang melawan Valentine ini sudah amat lebay di ruang
publik. Banyak ditemui baliho-baliho atau bahkan selebaran himbauan keras
pelarangan Valentine Day dari yang halus sampai kasar. Memancing tubir sekali.
Dinas Pendidikan tampaknya juga sudah
kehilangan akal dengan langsung memberi surat edaran pelarangan. Tapi menurut
saya itu akal sengaja dihilangkan atau minimal tak sedang dipakai. Menyandang
kata pendidikan, sebenarnya tidak sulit untuk berpikir bahwa Valentine tak
selalu dipukul rata dengan pelarangan karena alasan maksiat dan moral. Bukankah
tetap ada pesan-pesan positif jika dikaitkan dengan kasih sayang yang universal
dan bukan melulu soal maksiat yang sebenarnya bukan bagian dari Valentine juga.
Mengasihi guru-guru misalnya,
jadi ajang perdamaian dan gencatan senjata antara guru killer dengan murid-muridnya yang bandel. Pun juga buat mengasihi
orang tua, kakek nenek, sanak saudara dan yang lain. Bukankah ini mendidik juga
untuk menjauhkan dari label maksiat itu jika para moralis serius ingin
meminimalisir tindak maksiat? Cinta dan kasih sayang gak berbatas sekat suku
ras dan agama kan?
Yang jelas, ditengah arus
konsumerisme berat masyarakat NKRI ini, Valentine juga turut menyumbang momen
dimana diskon-diskon barang diberlakukan, nah buat yang ini pasti para moralis
juga kecipratan berkahnya. Ya, Valentine kini bisa sejajar dengan hari
konsumerisme lain seperti Hari Raya Idulf Fitri, Natal, dan Tahun Baru yang
umumnya memacu untuk belanja karena menawarkan banyak diskon. Selamat
berbelanja kalian.
Lagupula, kelamaan kalau maksiat
nunggu Valentine, niat maksiat ya kapan aja bisa. Tubir sekali kalian ini.
Sampai saya juga ikut meramaikan ketubiran yang hina ini. Hahahaha
0 komentar:
Posting Komentar