Senin, 15 Februari 2016

Valentine yang selalu memancing ketubiran

Leave a Comment
Ilustrasi tolak valentine. (Foto: Antara/Zabur Karuru)
Barangkali ribut soal Valentine di NKRI ini bisa terus disaksikan sampai anak cucu. Bagaimana tidak, banyak dari orang-orang Indonesia suka sekali meributkan dan mengganyang Valentine Day dari tahun ke tahun daripada Bima Arya yang beberapa hari lalu datang meresmikan Kantor HTI di Bogor. “Oh ya gak apa-apa, emang kenapasih HTI mas? Bebas dong!” begitu mungkin ya.

Yak, Hari Valentine memang selalu memancing ketubiran. Setidaknya kalau tidak ada bahan buat tubir, Valentine ini harus disyukuri dan dirayakan karena masuk agenda rutin dari hal-hal yang selalu pasti ditubirkan setelah Natal.

Urusan Valentine tahun ini, beberapa Kota di Indonesia lewat Dinas Pendidikan setempat ramai-ramai mengeluarkan surat yang melarang keras perayaan Valentine di kalangan pelajar dengan alasan moral. Alasannya klise dari tahun ke tahun, yaitu demi melindungi tindakan asusila dan melindungi moral bangsa. Belum lagi demo-demo yang diusung berbagai kelompok untuk masyarakat umum di ruang publik, alasannya juga sama masih soal asusila dan moralitas. Jika dikembalikan lagi kepada Valentine itu sendiri, saya amat sangat ragu tentang tuduhan bahwa hari itu diciptakan atau dirayakan hanya untuk ena-ena saja yang berujung tubir nasional oleh para moralis NKRI.

Oke, ngeles halus misalnya “Hari Valentine emang gak ngajarin buat bertindak asusila, tapi kan orang-orang yang ngerayain banyak yang ngelakuin hal-hal begituan ujungnya, alesannya kasih sayang”. Oke, bisa jadi itu benar adanya, tapi kalau dikaitkan dengan maksiat bukankah tiap pergantian tahun, bulan puasa dan hingar bingar malam takbir juga sudah amat sering didengar berita tentang kemaksiatan dan asusila? Atau bahkan menemuinya sendiri? 

Sejauh ini, saya gak melihat corong keras penolakan terhadap kegiatan maksiat di hari-hari perayaan besar lainnya. Kontras sekali, perang melawan Valentine ini sudah amat lebay di ruang publik. Banyak ditemui baliho-baliho atau bahkan selebaran himbauan keras pelarangan Valentine Day dari yang halus sampai kasar. Memancing tubir sekali.

Dinas Pendidikan tampaknya juga sudah kehilangan akal dengan langsung memberi surat edaran pelarangan. Tapi menurut saya itu akal sengaja dihilangkan atau minimal tak sedang dipakai. Menyandang kata pendidikan, sebenarnya tidak sulit untuk berpikir bahwa Valentine tak selalu dipukul rata dengan pelarangan karena alasan maksiat dan moral. Bukankah tetap ada pesan-pesan positif jika dikaitkan dengan kasih sayang yang universal dan bukan melulu soal maksiat yang sebenarnya bukan bagian dari Valentine juga.

Mengasihi guru-guru misalnya, jadi ajang perdamaian dan gencatan senjata antara guru killer dengan murid-muridnya yang bandel. Pun juga buat mengasihi orang tua, kakek nenek, sanak saudara dan yang lain. Bukankah ini mendidik juga untuk menjauhkan dari label maksiat itu jika para moralis serius ingin meminimalisir tindak maksiat? Cinta dan kasih sayang gak berbatas sekat suku ras dan agama kan?

Yang jelas, ditengah arus konsumerisme berat masyarakat NKRI ini, Valentine juga turut menyumbang momen dimana diskon-diskon barang diberlakukan, nah buat yang ini pasti para moralis juga kecipratan berkahnya. Ya, Valentine kini bisa sejajar dengan hari konsumerisme lain seperti Hari Raya Idulf Fitri, Natal, dan Tahun Baru yang umumnya memacu untuk belanja karena menawarkan banyak diskon. Selamat berbelanja kalian.

Lagupula, kelamaan kalau maksiat nunggu Valentine, niat maksiat ya kapan aja bisa. Tubir sekali kalian ini. Sampai saya juga ikut meramaikan ketubiran yang hina ini. Hahahaha

0 komentar:

Posting Komentar