Jumat, 08 April 2016

Mengesampingkan Byline

Leave a Comment

Contoh pemakaian byline. Foto: charlesapple.com
Hampir di semua surat kabar cetak, pembaca tidak banyak tahu tentang siapa wartawan yang menulis berita tersebut. Bahkan memang tidak tahu siapa penulisnya selain hanya diberi inisial di akhir tulisan berita. Ini terlihat seperti menjawab secara sepihak kepada pembaca bahwa nama penulis berita memang tidaklah penting.

Byline sendiri biasanya dicontohkan dengan pencantuman nama penulis atau wartawan di awal tulisan. Atau bisa juga dengan biografi singkat dari penulis bersamaan dengan nama. Fungsi dari pencantuman byline sendiri tentu agar tulisan tersebut bila suatu saat ditemukan kesalahan bisa langsung diketahui dan dikonfirmasi kepada si penulis tersebut. Bukan sekedar kesalahan dan tanggung jawab kepenulisan dilemparkan kepada institusi media tersebut saja.

Dalam bahasa Inggris, byline berasal dari kata "by" (oleh) dan "line" (baris) yang merujuk kepada sebuah baris dekat judul cerita dimana terdapat nama orang yang menulis cerita itu. Menurut kamus Merriam-Webster's Collegiate Dictionary, kata ini masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Inggris, artinya terekam pertama kalinya dalam perbendaharaan bahasa Inggris pada 1938 (Harsono, 2010, h. 42).

Pengamatan saya, koran koran saat ini masih banyak yang tidak menyertakan byline dalam setiap tulisan beritanya. Sebut saja koran dari yang punya segmentasi atas seperti Kompas. Kemudian disusul yang lain dari Jawa Pos, Radar Surabaya, Surya dan Tribun. Mereka semua tak menyertakan byline, hanya membubuhkan inisial di akhir laporan. Tercatat dalam surat kabar cetak penelusuran saya, hanya koran Tempo yang menerapkan byline di laporan beritanya.

Berbeda dengan media cetak, portal-portal berita online milik media cetak justru konsisten mencantumkan byline di akhir laporan. Nama penulis beserta editornya umum dicantumkan. Sebut saja berita-berita online milik Kompas, Tempo, Tribun, Jawa Pos. Jawa Pos online tampaknya yang sedikit lebih pelit dalam menuliskan byline, mereka hanya menulis nama panggilan di akhir tulisan dalam tanda kurung seperti penulisan inisial di koran cetak. Tetapi ada juga berita online yang malah tidak dijumpai byline, yaitu portal berita seperti Kapanlagi yang berlatar belakang infotainment. Tetapi ada juga portal berita berbasis infotainment yang mencantumkan byline lengkap dengan menu penulis beserta laporan-laporan yang dirilisnya yaitu di portal Bintang Online.

Bill Kovach, salah satu penulis buku Sembilan Elemen Jurnalisme pernah datang ke kantor harian Kompas. Seperti yang ditulis Andreas Harsono dalam bukunya Agama Saya Adalah Jurnalisme:


Kovach menemui Jakob Oetama dan Suryopratomo, masing-masing pemimpin umum dan pemimpin redaksi Kompas. Ada sekitar 15 wartawan Kompas ikut berdiskusi disana. Kovach sempat bertanya pada wartawan Kompas,”Mengapa surat kabar Anda tak memakai byline? Mengapa di halaman satu tak terlihat byline?” Bambang Wisudo, salah satu wartawan yang hadir, mengatakan kalau Kompas menggunakan byline bakal kelihatan kalau tulisan wartawan-wartawannya masih belum bagus menulis. Tak semua wartawan bisa mendapatkan byline. Malu kalau pakai byline (Harsono, 2010, h. 41).



Kovach balik mengatakan bukankah itu esensi byline? Artinya, biarkan pembaca tahu mana wartawan yang bisa menulis dengan baik dan mana yang tidak baik. Bukankah itu bagian dari accountability Kompas? Jadi kalau Kompas memakai byline, orang bakal tahu siapa orang yang menulis laporan yang baik atau yang buruk. Bukan sebaliknya menaruh semua tanggungjawab kepenulisan itu kepada institusi Kompas. (Harsono, 2010, h. 42).


Pengamatan saya sendiri, byline banyak ditonjolkan justru di kolom-kolom opini baik di cetak maupun online. Mungkin juga ini karena suratkabar berpendapat bahwa isi tulisan adalah tanggungjawab dari penulis yang juga beberapa keterangan seperti ini ditemui di akhir tulisan kolom opini. Sedikit naif karena harusnya kedudukan seorang wartawan dalam menurunkan laporan sama seperti para kontributor opini. Wartawan harus sanggup bertanggung jawab atas laporan yang diturunkan dan buat apa pula harus takut?

Sebenarnya, bagi orang yang bernah mengirimkan kontribusi tulisan baik di media cetak maupun online. Pencantuman byline adalah bentuk pengharagaan dan menaikkan reputasi penulis itu sendiri. Konsekuensinya memang tentu saja tidak bisa sembarangan asal menulis. Setidaknya penulis akan cenderung memantau tulisannya sendiri setelah terbit dan melihat reaksi masyarakat luas yang mengakses tulisan tersebut. Lebih cepat bisa dipantau jika di media online karena di akhir laporan ada kolom komentar yang bisa diisi oleh siapapun sebagai bentuk feedback.

Andreas Harsono dalam bukunya Agama Saya Adalah Jurnalisme menuliskan bahwa:



Pemakaian byline membuat wartawan-wartawan The Boston Globe lebih berhati-hati dengan laporan-laporan mereka. Ketika itu, sama dengan suratkabar-suratkabar Indonesia hari ini, media Amerika tak memakai byline. Mereka hanya menaruh inisial si wartawan di ekor laporan. Namun inovasi Taylor ini perlahan-lahan ditiru oleh suratkabar lain di Amerika Serikat.




Prosesnya tidak cepat. Butuh waktu lama untuk meyakinkan pada redaktur bahwa byline adalah masalah accountability. Harian The New York Times baru memulai menerapkan byline, sebagai isu accountability, pada 1960-an.


Permasalahan byline sekaligus menjadi kritik tampaknya memang sudah sejak lama berpulih-puluh tahun lalu. Namun suatkabar cetak sebelum invasi media online, juga tampak masih mengabaikan ini. Jika alasan yang disampaikan sama dengan penuturan Kompas saat ditanya oleh Bill Kovac maka memang sangat dipertanyakan accountability institusi medianya.

Selain itu, melihat dampak dari penulisan byline nyatanya cukup membuat wartawan lebih lagi berhati-hati dalam penyusunan laporan. Artinya ada perbedaan sikap dan professionalitas ketika mencantumkan byline dengan hanya membubuhkan inisial di ekor tulisan.

Harian The Jakarta Post mungkin termasuk suratkabar pertama di Indonesia yang memakai byline. Kebijakan itu diterpakan mulai tahun 2001 silam. Hasilnya, wartawan The Jakarta Post dipaksa menulis lebih baik lagi karena kalau ada kesalahan atau ada yang melenceng, nama mereka segera diketahui publik (Harsono, 2010, h. 44).

Menurut saya, fenomena byline yang sering diabaikan ini menjadi kritik media dari segi akuntabilitas dan tanggung jawab. Byline tidak bisa diremehkan untuk sebuah pemenuhan unsur berita yang kredibel. Media cetak saat ini yang tersisa terutama idealnya segera memakai byline meskipun terlihat sangat terlambat. Sedangkan media online, penulisan byline tampaknya sudah dipenuhi, tetapi alangkah lebih baiknya ada pengkategorian. Yaitu ketika mengakses nama penulis laporan, kita akan disuguhkan seluruh tulisan-tulisannya. Darisitu, pembaca bisa mengetahui dan sekaligus menandai kredibilitas dari penulis dan gaya bahasa yang bisa menjadi ciri. Sehingga kesalahanpun tidak selalu dibebankan kepada institusi. Terutama sebenarnya demi memenuhi produk jurnalistik yang kredibel sesuai kode etik dan aturan-aturan yang sudah disepakati.

0 komentar:

Posting Komentar