Rabu, 30 November 2016

Langit Gelap di Kuba, Obituari untuk Comandante

Leave a Comment


Fidel Castro at an outpost in the Sierra Maestra. Castro commanded his forces in this (sumber: http://www.pbs.org)
Jumat malam (25/11) waktu setempat, segenap rakyat Kuba berduka atas Fidel Castro. Mereka kehilangan sosok revolusioner sekaligus peletak dasar negara Kuba saat ini yang luasnya tak melebihi Pulau Jawa.  Masa-masa muda nan produktifnya diisi dengan segenap kerja-kerja pembebasan, kala itu ia bersama adiknya Raul Castro sedang giat bergerilya melawan rezim Batista yang berkuasa di Kuba dengan sokongan penuh dari negara tetangga yang adikuasa, Amerika Serikat.
Kharisma Fidel Castro menular ke seantero dunia, menginspirasi banyak kaum yang mendaku progresif kiri dari beragam spektrum dan mendalami segala seluk beluknya. Kemenangannya dianggap model yang nyata bagaimana sistem imperialisme dan kolonialisme besar dan kuat sekalipun bisa digulingkan dan hidup mandiri yang oleh Sukarno sering disebut “Berdiri diatas kaki sendiri” alias Berdikari.

Baik Fidel Castro dan Sukarno bukan hanya sepaham sebagai sama-sama dunia ketiga yang hanya dipandang sebelah mata, dan hanya diambil manisnya saja oleh negara-negara kolonial nan imperialis. Mereka pernah bertemu, foto-foto arsip menangkap momen-momen kehangatan keduanya dan ditambah sosok yang tak kalah kharismatik dan ikonik, Che Guevara yang juga melawat ke Indonesia. Che Guevara sendiri datang bergabung dengan perlawanan Fidel dan kawan-kawannya melawan Fulgencio Batista setelah mendapat “panggilan spiritual” saat mengendarai motor berkeliling melihat keadaan rakyat Amerika Latin. Ia perlu untuk membebaskan.

Kembali lagi sekilas tentang Sukarno dan Fidel Castro, mereka tak berakhir sama. Jika Fidel Castro mampu berkuasa penuh dan menjalankan cita-cita revolusinya menentang musuh utama Amerika Serikat yang telah menggerogoti Kuba dan bertekat terus mengembangkan kemandirian, Sukarno harus menelan sebaliknya. Ia jatuh dalam peristiwa 1965 yang belakangan setelah dokumen CIA yang dipublikasikan ke publik dan dapat diakses hingga detik ini. Hubungan dekat Kuba dan Indonesia praktis juga tak lagi terdengar, lenyap ditelan kedigdayaan Suharto mengganyang orang-orang model Fidel Castro maupun Che Guevara.

Fidel Castro benar. Setelah berhasil mengambil alih kekuasaan pada 1959 ia memang secara keras kepala anti kompromi terhadap Amerika Serikat, anti imperialisme dan anti kolonialisme, ia benar-benar tak sedang membelot seperti para pemimpin Kuba pendahulunya. Mengadopsi model pembangunan Marxis-Leninis, Castro mengonversi Kuba menjadi negara sosialis dibawah pemerintahan tunggal Partai Komunis Kuba di belahan Barat. Reaksi Amerika tentu meradang bukan kepalang, sejumlah upaya menjatuhkan Fidel Castro dilakukan, dari Invasi Teluk Babi hingga usaha pembunuhan. Disebutkan dalam sebuah dokumenter berjudul 638 Ways to Kill Castro, ia menerima upaya pembunuhan sebanyak 638 kali. Luar biasa, yang kesemuanya itu diotaki oleh intelijen Amerika, CIA seperti cerutu peledak, pesona perempuan, gas LSD hingga upaya ganjil dengan membuat rontok janggutnya agar sosok kharismatiknya luntur.

Memenangkan revolusi menggulingkan Batista, menjadi Perdana Menteri Kuba dari tahun 1959 sampai 1976, ia naik menjadi pemimpin besar Kuba selanjutnya dari tahun 1976 hingga 2008 kemarin mengundurkan diri karena alasan kesehatan. Total telah 50 tahun Fidel Castro berkuasa atas tanah Kuba. Para pembencinya menyebut ia tak lebih dari seorang diktator kejam dan membuat negara tampak tertinggal akibat kebijakannya yang antipati terhadap Amerika. Nyatanya Amerika memang melakukan embargo terhadap Kuba, tidak ada hubungan apapun antara kedua negara sekalipun keberadaan Amerika terpampang besar di muka Pulau Kuba.

Sebagai gantinya, untuk memenuhi kebutuhan yang tidak ada di tanah Kuba, Fidel Castro merapat ke Uni Soviet. Mereka membeli hasil panen tebu rakyat Kuba dan sebaliknya kapal-kapal Uni Soviet bertolak ke Havana dengan membawa berbagai barang kebutuhan yang diembargo AS. Meskipun tampak aroma Perang Dingin semakin tercium, dengan memusuhi Blok Barat yang dipimpin Amerika dan merapat ke Blok Timur yang berpusat di Uni Soviet, Castro membawa Kuba bergabung dengan Gerakan Non Blok yang baru dibangun bersama dengan Presiden Soekarno, Bung Besar.

Namun Castro berhasil meletakkan tulang punggung pokok selama era yang dikatakan para pembenci dan musuhnya sebagai masa-masa kelam kediktatoran, yaitu pendidikan dan kesehatan gratis. Ia seolah menebus kesalahannya di awal revolusi yang turut memakan korban dan pembungkaman lawan politiknya. Tingkat melek huruf di Kuba dalam catatan UNESCO tahun 2015 masih tinggi dengan 99.7% yang artinya masuk dalam 10 besar angka melek huruf tertinggi di dunia. Departemen Pendidikan Tinggi Kuba juga memberikan pendidikan jarak jauh untuk menyediakan waktu sore dan malam di daerah pedesaan untuk para pekerja di pertanian.

Kesehatan, yang menjadi prioritas berikutnya telah menjadi pencapaian yang patut dibanggakan. Angka harapan hidup orang Kuba adalah 78 tahun. Kuba saat ini memiliki perawatan kesehatan kelas dunia. Di seluruh pelosok para perawat tersedia dan angka kematian bayi dan ibu bisa ditekan semaksimal mungkin dan bahkan melampaui negara-negara maju. Kuba melahirkan rasio ertinggi di dunia antara dokter dengan penduduk, dan karena itu telah mengirimkan ribuan dokter untuk lebih dari 40 negara di seluruh dunia, WHO mencatat akan prestasi ini.

Tidak banyak yang tahu, dalam bencana gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 banyak dokter Kuba yang berdatangan ke Jawa. Laporan ini dimuat di The Guardian oleh kontributor Tom Fawthrop. Menyebutkan bahwa sebanyak 135 anggota tim medis asal Kuba diturunkan membantu rumah sakit lapangan bantuan dari pemerintah Kuba. Sejak dibuka pada Juni 2006, 47.000 orang Indonesia datang kesitu. 900 dilakukan operasi dan 350 orang diantaranya menjalani operasi serius. 2000 orang lainnya juga diimunisasi tetanus.

Lebih lanjut, sebagian besar tim medis memilki pengalaman di Asia. Mereka juga turut berperan dalam penanganan tsunami yang menyapu Aceh dan musibah kemanusiaan lainnya seperti gempa besar di Pakistan. Laporan ini nyatanya tidak banyak yang diketahui dan terendus media lokal nasional, mungkin tak terlihat karena tak membawa atribut dan bendera apapun dalam tugas-tugas kemanusiaan mereka.

Inilah nilai warisan Fidel Castro yang nyata dan paling dapat dirasakan tak hanya rakyat Kuba sendiri tapi dunia secara keseluruhan. Dengan memberikan gratis, bolehjadi pelayanan ke semua kelas sosial dan bahkan lintas batas negara menjadi kewajiban yang harus dibayar balik. Ia memang telah merancang dan mencita-citakan sejak awal revolusi yang dimenangkannya.

Belakangan, sejak posisi Fidel Castro digantikan oleh adiknya Raul Castro, sikap melunak ditunjukkan kepada Amerika lewat pertemuannya dengan Obama saat pemakaman Nelson Mandela. Meskipun tak terlihat tanda-tanda bahwa berarti segera membuka kran berbagai perusahaan swasta ke Kuba, namun hubungan baik terjalin kembali setelah puluhan tahun sama sekali tidak ada jalinan apapun antara kedua negara yang berseteru ini. Tentu Fidel Castro tahu benar akan kejadian ini, ia masih amat mengikuti perkembangan politik dan keijakan negaranya.

Barangkali, Fidel sudah tidak ragu lagi melepaskan negara dan rakyatnya untuk mulai lebih membuka diri. Toh ia telah lebih dari cukup meletakkan dasar fondasi kokoh selama era 50 tahun kepemimpinannya. Para tetangga yang sering melihat sebelah mata Kuba sebagai negara miskin dan sangat sederhana atau tak jarang dikatakan tertinggal yang tentunya diamati lewat kacamata mereka. Nyatanya telah berhasil menunjukkan kepada dunia bagaimana ia bisa hidup tanpa bantuan dari negara adikuasa, tanpa bantuan dari negara yang akan kembali mengeruk keuntungan sepihak.

Kuba memang unik, sederhana, dengan ragam sosialisme ala Karibian yang diterapkan oleh Fidel ditengah kebangkrutan global terhadap sistem ini. Fidel Castro boleh saja dihujat dan dikritik habis karena tak memenuhi sebagian besar keinginan warganya yang ingin hidup gemerlap seperti di tetangga dekat Amerika Serikat. Tak sedikit yang memilih angkat kaki dari Kuba, membelot dan tinggal di Amerika ikut merayakan kesukacitaan atas mangkatnya Fidel Castro. Tapi tak kalah banyak pula rakyat Kuba yang kehilangan berduka, bagi musuh ia tetap seorang yang jahat tentunya.

Di Indonesia, pernah juga ada seorang diktator setelah digulingkannya Bung Besar Sukarno. Lama ia memimpin yang pada akhirnya digulingkan karena tak tahan melihat gurita korpusi yang didekapnya juga kasus-kasus kemanusiaan lainnya yang terlalu berat. Saya kurang tahu warisan besar apa yang telah ditinggalkan untuk membentuk fondasi bagi rakyat dan pemimpin-pemimpin berikutnya. Ia tak juga sedang menjalankan amanah dan cita-cita besar Bung Karno, bahkan sebaliknya lebih dekat seperti rezim Batista yang berhubungan mesra dengan imperialisme Barat. Dan tentunya tulisan terkait Fidel Castro ini kemungkinan berbuah petaka.

Adios El Jefe. Hasta Siempre Comandante!

0 komentar:

Posting Komentar