Fidel Castro at an outpost in the Sierra Maestra. Castro commanded his forces in this (sumber: http://www.pbs.org) |
Jumat malam (25/11) waktu setempat, segenap rakyat Kuba berduka
atas Fidel Castro. Mereka kehilangan sosok revolusioner sekaligus peletak dasar
negara Kuba saat ini yang luasnya tak melebihi Pulau Jawa. Masa-masa muda nan produktifnya diisi dengan
segenap kerja-kerja pembebasan, kala itu ia bersama adiknya Raul Castro sedang
giat bergerilya melawan rezim Batista yang berkuasa di Kuba dengan sokongan
penuh dari negara tetangga yang adikuasa, Amerika Serikat.
Kharisma Fidel Castro menular ke seantero dunia,
menginspirasi banyak kaum yang mendaku progresif kiri dari beragam spektrum dan
mendalami segala seluk beluknya. Kemenangannya dianggap model yang nyata
bagaimana sistem imperialisme dan kolonialisme besar dan kuat sekalipun bisa
digulingkan dan hidup mandiri yang oleh Sukarno sering disebut “Berdiri diatas
kaki sendiri” alias Berdikari.
Baik Fidel Castro dan Sukarno bukan hanya sepaham sebagai
sama-sama dunia ketiga yang hanya dipandang sebelah mata, dan hanya diambil
manisnya saja oleh negara-negara kolonial nan imperialis. Mereka pernah
bertemu, foto-foto arsip menangkap momen-momen kehangatan keduanya dan ditambah
sosok yang tak kalah kharismatik dan ikonik, Che Guevara yang juga melawat ke
Indonesia. Che Guevara sendiri datang bergabung dengan perlawanan Fidel dan
kawan-kawannya melawan Fulgencio Batista setelah mendapat “panggilan spiritual”
saat mengendarai motor berkeliling melihat keadaan rakyat Amerika Latin. Ia
perlu untuk membebaskan.
Kembali lagi sekilas tentang Sukarno dan Fidel Castro,
mereka tak berakhir sama. Jika Fidel Castro mampu berkuasa penuh dan
menjalankan cita-cita revolusinya menentang musuh utama Amerika Serikat yang
telah menggerogoti Kuba dan bertekat terus mengembangkan kemandirian, Sukarno
harus menelan sebaliknya. Ia jatuh dalam peristiwa 1965 yang belakangan setelah
dokumen CIA yang dipublikasikan ke publik dan dapat diakses hingga detik ini.
Hubungan dekat Kuba dan Indonesia praktis juga tak lagi terdengar, lenyap
ditelan kedigdayaan Suharto mengganyang orang-orang model Fidel Castro maupun
Che Guevara.
Fidel Castro benar. Setelah berhasil mengambil alih
kekuasaan pada 1959 ia memang secara keras kepala anti kompromi terhadap
Amerika Serikat, anti imperialisme dan anti kolonialisme, ia benar-benar tak
sedang membelot seperti para pemimpin Kuba pendahulunya. Mengadopsi model
pembangunan Marxis-Leninis, Castro mengonversi Kuba menjadi negara sosialis
dibawah pemerintahan tunggal Partai Komunis Kuba di belahan Barat. Reaksi Amerika
tentu meradang bukan kepalang, sejumlah upaya menjatuhkan Fidel Castro
dilakukan, dari Invasi Teluk Babi hingga usaha pembunuhan. Disebutkan dalam
sebuah dokumenter berjudul 638 Ways to
Kill Castro, ia menerima upaya pembunuhan sebanyak 638 kali. Luar biasa,
yang kesemuanya itu diotaki oleh intelijen Amerika, CIA seperti cerutu peledak,
pesona perempuan, gas LSD hingga upaya ganjil dengan membuat rontok janggutnya
agar sosok kharismatiknya luntur.
Memenangkan revolusi menggulingkan Batista, menjadi Perdana
Menteri Kuba dari tahun 1959 sampai 1976, ia naik menjadi pemimpin besar Kuba
selanjutnya dari tahun 1976 hingga 2008 kemarin mengundurkan diri karena alasan
kesehatan. Total telah 50 tahun Fidel Castro berkuasa atas tanah Kuba. Para
pembencinya menyebut ia tak lebih dari seorang diktator kejam dan membuat
negara tampak tertinggal akibat kebijakannya yang antipati terhadap Amerika.
Nyatanya Amerika memang melakukan embargo terhadap Kuba, tidak ada hubungan
apapun antara kedua negara sekalipun keberadaan Amerika terpampang besar di
muka Pulau Kuba.
Sebagai gantinya, untuk memenuhi kebutuhan yang tidak ada di
tanah Kuba, Fidel Castro merapat ke Uni Soviet. Mereka membeli hasil panen tebu
rakyat Kuba dan sebaliknya kapal-kapal Uni Soviet bertolak ke Havana dengan
membawa berbagai barang kebutuhan yang diembargo AS. Meskipun tampak aroma
Perang Dingin semakin tercium, dengan memusuhi Blok Barat yang dipimpin Amerika
dan merapat ke Blok Timur yang berpusat di Uni Soviet, Castro membawa Kuba
bergabung dengan Gerakan Non Blok yang baru dibangun bersama dengan Presiden
Soekarno, Bung Besar.
Namun Castro berhasil meletakkan tulang punggung pokok
selama era yang dikatakan para pembenci dan musuhnya sebagai masa-masa kelam
kediktatoran, yaitu pendidikan dan kesehatan gratis. Ia seolah menebus
kesalahannya di awal revolusi yang turut memakan korban dan pembungkaman lawan
politiknya. Tingkat melek huruf di Kuba dalam catatan UNESCO tahun 2015 masih
tinggi dengan 99.7% yang artinya masuk dalam 10 besar angka melek huruf tertinggi
di dunia. Departemen Pendidikan Tinggi Kuba juga memberikan pendidikan jarak
jauh untuk menyediakan waktu sore dan malam di daerah pedesaan untuk para
pekerja di pertanian.
Kesehatan, yang menjadi prioritas berikutnya telah menjadi
pencapaian yang patut dibanggakan. Angka harapan hidup orang Kuba adalah 78
tahun. Kuba saat ini memiliki perawatan kesehatan kelas dunia. Di seluruh
pelosok para perawat tersedia dan angka kematian bayi dan ibu bisa ditekan
semaksimal mungkin dan bahkan melampaui negara-negara maju. Kuba melahirkan
rasio ertinggi di dunia antara dokter dengan penduduk, dan karena itu telah
mengirimkan ribuan dokter untuk lebih dari 40 negara di seluruh dunia, WHO
mencatat akan prestasi ini.
Tidak banyak yang tahu, dalam bencana gempa bumi Yogyakarta
27 Mei 2006 banyak dokter Kuba yang berdatangan ke Jawa. Laporan ini dimuat di The Guardian oleh kontributor Tom
Fawthrop. Menyebutkan bahwa sebanyak 135 anggota tim medis asal Kuba diturunkan
membantu rumah sakit lapangan bantuan dari pemerintah Kuba. Sejak dibuka pada
Juni 2006, 47.000 orang Indonesia datang kesitu. 900 dilakukan operasi dan 350
orang diantaranya menjalani operasi serius. 2000 orang lainnya juga diimunisasi
tetanus.
Lebih lanjut, sebagian besar tim medis memilki pengalaman di
Asia. Mereka juga turut berperan dalam penanganan tsunami yang menyapu Aceh dan
musibah kemanusiaan lainnya seperti gempa besar di Pakistan. Laporan ini
nyatanya tidak banyak yang diketahui dan terendus media lokal nasional, mungkin
tak terlihat karena tak membawa atribut dan bendera apapun dalam tugas-tugas
kemanusiaan mereka.
Inilah nilai warisan Fidel Castro yang nyata dan paling
dapat dirasakan tak hanya rakyat Kuba sendiri tapi dunia secara keseluruhan.
Dengan memberikan gratis, bolehjadi pelayanan ke semua kelas sosial dan bahkan
lintas batas negara menjadi kewajiban yang harus dibayar balik. Ia memang telah
merancang dan mencita-citakan sejak awal revolusi yang dimenangkannya.
Belakangan, sejak posisi Fidel Castro digantikan oleh
adiknya Raul Castro, sikap melunak ditunjukkan kepada Amerika lewat
pertemuannya dengan Obama saat pemakaman Nelson Mandela. Meskipun tak terlihat
tanda-tanda bahwa berarti segera membuka kran berbagai perusahaan swasta ke
Kuba, namun hubungan baik terjalin kembali setelah puluhan tahun sama sekali
tidak ada jalinan apapun antara kedua negara yang berseteru ini. Tentu Fidel
Castro tahu benar akan kejadian ini, ia masih amat mengikuti perkembangan
politik dan keijakan negaranya.
Barangkali, Fidel sudah tidak ragu lagi melepaskan negara
dan rakyatnya untuk mulai lebih membuka diri. Toh ia telah lebih dari cukup
meletakkan dasar fondasi kokoh selama era 50 tahun kepemimpinannya. Para
tetangga yang sering melihat sebelah mata Kuba sebagai negara miskin dan sangat
sederhana atau tak jarang dikatakan tertinggal yang tentunya diamati lewat
kacamata mereka. Nyatanya telah berhasil menunjukkan kepada dunia bagaimana ia
bisa hidup tanpa bantuan dari negara adikuasa, tanpa bantuan dari negara yang
akan kembali mengeruk keuntungan sepihak.
Kuba memang unik, sederhana, dengan ragam sosialisme ala
Karibian yang diterapkan oleh Fidel ditengah kebangkrutan global terhadap
sistem ini. Fidel Castro boleh saja dihujat dan dikritik habis karena tak
memenuhi sebagian besar keinginan warganya yang ingin hidup gemerlap seperti di
tetangga dekat Amerika Serikat. Tak sedikit yang memilih angkat kaki dari Kuba,
membelot dan tinggal di Amerika ikut merayakan kesukacitaan atas mangkatnya
Fidel Castro. Tapi tak kalah banyak pula rakyat Kuba yang kehilangan berduka,
bagi musuh ia tetap seorang yang jahat tentunya.
Di Indonesia, pernah juga ada seorang diktator setelah
digulingkannya Bung Besar Sukarno. Lama ia memimpin yang pada akhirnya
digulingkan karena tak tahan melihat gurita korpusi yang didekapnya juga kasus-kasus
kemanusiaan lainnya yang terlalu berat. Saya kurang tahu warisan besar apa yang
telah ditinggalkan untuk membentuk fondasi bagi rakyat dan pemimpin-pemimpin
berikutnya. Ia tak juga sedang menjalankan amanah dan cita-cita besar Bung
Karno, bahkan sebaliknya lebih dekat seperti rezim Batista yang berhubungan
mesra dengan imperialisme Barat. Dan tentunya tulisan terkait Fidel Castro ini
kemungkinan berbuah petaka.
Adios El Jefe. Hasta Siempre Comandante!
0 komentar:
Posting Komentar