Kamis, 21 April 2016

Simposium untuk Sintong

Leave a Comment

Sekedar mengingatkan apa yang disanpaikan oleh sang Jenderal pada pembukaan simposium 65 kemarin. Pict: dari akun Twitter @BelokKiri_Fest
“Saya tantang terutama yang datang dari Yogya. Buktikan ke saya kalau yang mati itu sampai 100 ribu. Tunjukkan ke saya mayatnya, di mana saja itu, siapa saja sampai sebanyak itu? Menurut saya ini pembohongan.”

“Jadi itu pengalaman saya di sana hampir semua daerah yang operasi tidak ada (yang mati). Jadi itulah suatu pertanyaan. Setelah pulang ada satu keputusan bahwa yang mati itu sampai 500.000. Apa sebetulnya? Laporan dari mana?”


"Ini pembohongan. Ini sudah menyangkut harga diri kami dari RPKAD, Kopassus. RPKAD memang benar ke sana untuk menumpas PKI. Itu tidak salah. Tapi, RPKAD harus melindungi masyarakat yang ada di Jawa Tengah, baik PKI atau tidak. Bahkan anggota PKI yang senang dengan kami."

"Ini yang perlu kita kaji kembali. Saya enggak ngerti ahli-ahli bicara (soal tragedi 1965), tapi enggak tahu berapa yang mati... Saya tantang sekarang ini, data tunjukkan kepada saya."

"Sehingga sekarang pertanyaan saya, saudara-saudara banyak dari Jogja itu tahun '65 ada di Jogja, apakah masuk akal kalau katakanlah 1.000 saja mati tidak ketahuan? Tunjukan ke saya siapa saja yang mati itu apa sampai 100 ribu?"

Diatas adalah kutipan-kutipan langsung dari Letjen (purnawirawan) Sintong Panjaitan saat berbicara di sesi sambutan dalam acara simposium 1965. 

Menarik sekali tentunya menyimak pernyataan-pernyataan dari Jenderal Sintong. Ungkapan-ungkapan yang menyiratkan ketidakpercayaannya sekaligus menampik akan banyaknya korban jiwa dalam peristiwa 65 tentu saja di lain sisi amat menggelitik para peneliti dan penyintas. Ia juga berulang kali menantang para peneliti dan penyintas untuk menyodorkan data dan mayat korban 65.

Dalam beberapa pernyataannya yang berapi-api itu juga terselip ketumpang tindihan pernyataan antara ada dan tidaknya korban jiwa. Diapun juga mengakui bahwa memang ada operasi penumpasan. Ada hal-hal yang tampaknya masih ragu untuk diutarakan dengan lepas.

Tetapi ini tampak juga menjadi pemantik awal bagi para penyintas dan peneliti yang hadir untuk semakin perlunya memaparkan apa yang ditemukan terkait penelitian dari peristiwa 65. Beberapa kali para narasumber dari penyintas yang sudah lanjut usia dalam sesi bicara tampak bersemangat lantang menyuarakan diskriminasi yang mereka terima. Mereka sedang melepaskan segala beban dihati dan pikiran kepada pemerintah yang hadir.

Dalih Sedikitnya Korban 65

Ucapan Sintong boleh jadi mencari aman yaitu berdasar dari daerah operasinya saja. Sehingga masih bisa mustahil mencapai angka ratusan ribu hingga jutaan korban jiwa. Tetapi menafikan temuan-temuan kuburan massal di daerah Semarang, Demak, Blora, Kudus, Cepu, Salatiga, Boyolali, Yogyakarta hingga lereng timur Gunung Merapi tentu sangat mustahil kecuali memang sengaja menutup mata. Bahkan sempat berujar bahwa tidak ada yang meninggal dunia.

Ada banyak narasumber dan peneliti yang pada akhirnya memaparkan penjelasan dan temuannya. Yang menarik, jika mengingat pengakuan Sarwo Edhie selaku komandan RPKAD, ia dengan bangga menyebut telah menumpas sebanyak 3 juta orang. Jika dikaitkan dengan pernyataan Sintong Panjaitan, besar kemungkinan Sintong memakai data hanya dari wilayahnya saja. Sedangkan Sarwo Edhie mendapat jumlah itu dari keseluruhan anak buahnya termasuk Sintong Panjaitan.

Komnas HAM pada penyelidikannya dari tahun 2008-2012 telah menemukan korban antara 500.000- 3.000.000 jiwa.

Versi New York Times, penelitian dari Joshua Oppenheimer yang sekaligus menelurkan dua film dokumenter terkait tragedi 65 menyebutkan ada lebih dari 500.000 jiwa.

Dari pernyataan Sintong Panjaitan juga terlontar bahwa RPKAD hanya menangkap anggota PKI yang pasif dan aktif. Tapi dalam kesaksian para korban dan temuan-temuan peneliti sangat banyak orang-orang yang bahkan tidak terlibat dalam kepartaian dan organisasi milik PKI ikut merasakan penderitaan. Tidak hanya simpatisan PKI saja, para Sukarnois juga turut ditumpas untuk sekaligus melemahkan kekuasaan Presiden Soekarno pada waktu itu.

Menggelitik menjawab tantangan Sintong Panjaitan mengenai korban dan tempat kejadian di sekitaran Yogya. Dari sekian banyaknya tempat, Luweng Grubug di Gunungkidul tentu tidak asing lagi bagi para penduduk sekitar serta para sejarawan dan peneliti. Disitulah banyak sekali para korban dieksekusi dan mayatnya dijebloskan ke luweng hingga hanyut terbawa aliran sungai ke pantai selatan Jawa. Temuan ini sulit untuk dibantah mengingat banyaknya saksi hidup baik dari warga setempat sampai para tentara yang ditugaskan menjadi eksekutor dimintai keterangan. Organisasi masyarakat Lakpesdam dibawah Nadhlatul Ulama (NU) sendiri memimpin pendataan korban 65 di wilayah Gunungkidul. Belum lagi ditambah korban dari wilayah Yogya yang lain,menyentuh ke jumlah seribu orang tentu saja bukan mustahil.

Sintong Panjaitan memang bukan komandan tunggal dan satu-satunya yang melakukan pelanggaran HAM 65 seperti ini. Ada banyak sekali komandan-komandan yang ditugaskan dan diteruskan kepada para prajuritnya untuk membunuh orang-orang simpatisan PKI, Sukarnois, bahkan yang hanya dituduh saja. Tetapi kehadiran Sintong Panjaitan dalam Simposium 65 dan menjelaskan terkait pembelaan jumlah korban jiwa ini dalam kapasitas perwakilan dari TNI sangat disayangkan. Simposium harusnya menjadi momentum bersejarah untuk semua saling jujur, saling mengungkapkan apa yang telah disembunyikan. 

Peran besar Jenderal Sintong

Berpangkat terakhir sebagai Letnan Jendral, Sintong Hamonangan Panjaitan atau umum dipanggil Sinton Panjaitan lahir pada 4 September 1940 di Sumatera Utara. Lulus akademi militer nasional pada tahun 1963, keterlibatannya dalam operasi G30S saat dia berumur 25 tahun dan berstatus sebagai Komandan Peleton Satu di bawah kompi Tanjung yang beroperasi memberantas pendukung G30S di Semarang, Demak, Blora, Kudus, Cepu, Salatiga, Boyolali, Yogyakarta hingga lereng timur Gunung Merapi.

Selepas dari operasi pembersihan itu, ia juga mendapatkan tugas oleh kapten Feisal Tanjung untuk pergi ke Irian Barat tahun 1969. Saat itu pemerintah Indonesia dibawah rezim Suharto mengirimkan para tentara guna memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Berpangkat Letnan Satu yang memimpin kesatuan Prayudha III berkekuatan 26 orang ia datang ke Irian Barat untuk mendekati para kepala-kepala suku.

“Mengingat pentingnya peranan kepala suku yang ikut menjadi anggota DMP (Dewan Musyawarah Pepera), maka Prayudha mengadakan pendekatan kepada para kepala suku,” jelas Sintong dalam buku “Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” karya Hendro Subroto. Ya, sekaligus mengkonfirmasi bahwa transparasi dan keadilan bagi rakyat Papua untuk menentukan nasib bangsanya sendiri ketika Pepera memang jauh dari kata demokratis, adil dan bermartabat.

Dalam masalah aneksasi wilayah Timor Timur oleh pemerintahan Indonesia, Sintong Panjaitan juga turut terlibat selama operasi militer disana. Ia ketika itu diangkatnya menjadi Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana yang mencakup Provinsi Timor Timur. Aksi militernya di Timor Leste terhenti ketika Insiden Dili atau lebih dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz. Para pendemo umumnya adalah mahasiswa yang memprotes kematian SebastiĆ£o Gomes setelah ditembak oleh tentara Indonesia. Mereka mengantarkan prosesi pemakaman sambil menggelar demonstrasi lengkap dengan spanduk pemimpin kemerdekaannya yaitu Xanana Gusmao. Pada saat prosesi pemakaman itulah para tentara Indonesia termasuk Sintong Panjaitan melancarkan serangan dengan menembaki semua mahasiswa. 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang.

Buntutnya, kemarahan dunia Internasional terjadi akibat korban dari negara lain juga berjatuhan. Sintong Panjaitan selaku pangdam bertanggungjawab dan diadili di Pengadilan Sipil Amerika Serikat karena salah satu Ibu dari korban yaitu Kamal Bamadhaj, Helen Todd telah menuntutnya. Ia diadili di Amerika Serikat saat dirinya sekolah disana. Oleh Pengadilan Sintong dijatuhi denda sebesar 4 juta dollar AS sebagai kompensasi dan 10 juta dollar AS sebagai ganti rugi. Sampai saat ini belum terkonfirmasi bahwa Sintong membayar sepeserpun dari denda tersebut.

Akhir karier militernya disebut-sebut karena insiden tersebut yang menyeret dunia Internasional untuk mengetahui peristiwa di Dili. Ia dicopot dari jabatannya sebagai pangdam untuk Timor Timor.

Simposium untuk siapa?

Banyak hal yang disayangkan dari pembukaan simposium ini. Menkopolhukam Luhut Panjaitan sudah menegaskan bahwa tidak ada permintaan maaf. Ini tentu seperti sudah membatasi atau bisa dibilang sudah menelurkan hasil akhir sebelum acara dimulai ke sesi lebih lanjut. Dalam tajuk simposium itu juga bertuliskan melalui pendekatan sejarah. Lalu, bagaimana bisa memberi kesimpulan dengan buru-buru menyatakan tidak adanya permintaan maaf kalau saja proses dialog pendekatan sejarah belum dimulai?

Lalu untuk apa simposium ini? Bisa dilihat mungkin dari sudut pandang pendekatan. Bagaimanapun acara ini adalah yang pertamakali sejak 50 tahun peristiwa 65 itu terjadi dan selama itu juga negara bungkam. Para penyintas dan akademisi peneliti untuk pertama kalinya bisa bertatap dengan pihak berwenang untuk membicarakan masalah ini. Negara perlu perlahan-lahan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan tentu saja mengakuinya apabila telah melakukan kesalahan besar.

Dua hari Simposium Tragedi 65 menelurkan beberapa kesimpulan bersama antara lain; (1) Pengakuan bahwa kita belum mampu mengelola bangsa yang majemuk. (2) Mengakui adanya aksi horizontal yang melibatkan negara. (3) Menyadari bahwa ada pelanggaran hak asasi manusia yang melukai bangsa hingga sekarang. (4) Tragedi 65 telah telah menyebabkan pembunuhan dalam jumlah yang besar karena belasan ribu orang dibuang dipenjara dan disiksa tanpa proses peradilan. (5) Terjadi perampasan hak dasar bagi warga negara yang diindikasikan sebagai eks anggota PKI.

Tetapi bukankah dari sederet kesimpulan tersebut sebenarnya merujuk pada permintaan maaf negara atas keterlibatannya di peristiwa 65? Lalu mengapa harus masih menegaskan untuk tidak meminta maaf? Kiranya negara berproses. Bagaimanapun, acara mengenai tragedi 65 ini adalah yang pertama diselenggarakan oleh pemerintah meskipun pada kali pertama ini Simposium lebih cocok untuk Jenderal Sintong Panjaitan dengan pernyataannya yang mengejutkan dan tumpang tindih.

0 komentar:

Posting Komentar