Sekedar mengingatkan apa yang disanpaikan oleh sang Jenderal pada pembukaan simposium 65 kemarin. Pict: dari akun Twitter @BelokKiri_Fest |
“Jadi itu pengalaman saya di sana hampir
semua daerah yang operasi tidak ada (yang mati). Jadi itulah suatu pertanyaan.
Setelah pulang ada satu keputusan bahwa yang mati itu sampai 500.000. Apa
sebetulnya? Laporan dari mana?”
"Ini pembohongan. Ini sudah menyangkut
harga diri kami dari RPKAD, Kopassus. RPKAD memang benar ke sana untuk menumpas
PKI. Itu tidak salah. Tapi, RPKAD harus melindungi masyarakat yang ada di Jawa
Tengah, baik PKI atau tidak. Bahkan anggota PKI yang senang dengan kami."
"Ini yang perlu kita kaji kembali. Saya
enggak ngerti ahli-ahli bicara
(soal tragedi 1965), tapi enggak
tahu berapa yang mati... Saya tantang sekarang ini, data tunjukkan kepada saya."
"Sehingga sekarang pertanyaan saya,
saudara-saudara banyak dari Jogja itu tahun '65 ada di Jogja, apakah masuk akal
kalau katakanlah 1.000 saja mati tidak ketahuan? Tunjukan ke saya siapa saja
yang mati itu apa sampai 100 ribu?"
Diatas adalah kutipan-kutipan
langsung dari Letjen (purnawirawan) Sintong Panjaitan saat berbicara di sesi sambutan
dalam acara simposium 1965.
Menarik sekali tentunya menyimak
pernyataan-pernyataan dari Jenderal Sintong. Ungkapan-ungkapan yang menyiratkan
ketidakpercayaannya sekaligus menampik akan banyaknya korban jiwa dalam
peristiwa 65 tentu saja di lain sisi amat menggelitik para peneliti dan
penyintas. Ia juga berulang kali menantang para peneliti dan penyintas untuk
menyodorkan data dan mayat korban 65.
Dalam beberapa pernyataannya yang
berapi-api itu juga terselip ketumpang tindihan pernyataan antara ada dan tidaknya
korban jiwa. Diapun juga mengakui bahwa memang ada operasi penumpasan. Ada
hal-hal yang tampaknya masih ragu untuk diutarakan dengan lepas.
Tetapi ini tampak juga menjadi
pemantik awal bagi para penyintas dan peneliti yang hadir untuk semakin
perlunya memaparkan apa yang ditemukan terkait penelitian dari peristiwa 65.
Beberapa kali para narasumber dari penyintas yang sudah lanjut usia dalam sesi
bicara tampak bersemangat lantang menyuarakan diskriminasi yang mereka terima.
Mereka sedang melepaskan segala beban dihati dan pikiran kepada pemerintah yang
hadir.
Dalih Sedikitnya Korban 65
Ucapan Sintong boleh jadi mencari
aman yaitu berdasar dari daerah operasinya saja. Sehingga masih bisa mustahil
mencapai angka ratusan ribu hingga jutaan korban jiwa. Tetapi menafikan
temuan-temuan kuburan massal di daerah Semarang, Demak, Blora, Kudus, Cepu,
Salatiga, Boyolali, Yogyakarta hingga lereng timur Gunung Merapi tentu sangat
mustahil kecuali memang sengaja menutup mata. Bahkan sempat berujar bahwa tidak
ada yang meninggal dunia.
Ada banyak narasumber dan
peneliti yang pada akhirnya memaparkan penjelasan dan temuannya. Yang menarik,
jika mengingat pengakuan Sarwo Edhie selaku komandan RPKAD, ia dengan bangga
menyebut telah menumpas sebanyak 3 juta orang. Jika dikaitkan dengan pernyataan
Sintong Panjaitan, besar kemungkinan Sintong memakai data hanya dari wilayahnya
saja. Sedangkan Sarwo Edhie mendapat jumlah itu dari keseluruhan anak buahnya
termasuk Sintong Panjaitan.
Komnas HAM pada penyelidikannya
dari tahun 2008-2012 telah menemukan korban antara 500.000- 3.000.000 jiwa.
Versi New York Times, penelitian
dari Joshua Oppenheimer yang sekaligus menelurkan dua film dokumenter terkait
tragedi 65 menyebutkan ada lebih dari 500.000 jiwa.
Dari pernyataan Sintong Panjaitan
juga terlontar bahwa RPKAD hanya menangkap anggota PKI yang pasif dan aktif.
Tapi dalam kesaksian para korban dan temuan-temuan peneliti sangat banyak
orang-orang yang bahkan tidak terlibat dalam kepartaian dan organisasi milik
PKI ikut merasakan penderitaan. Tidak hanya simpatisan PKI saja, para Sukarnois
juga turut ditumpas untuk sekaligus melemahkan kekuasaan Presiden Soekarno pada
waktu itu.
Menggelitik menjawab tantangan
Sintong Panjaitan mengenai korban dan tempat kejadian di sekitaran Yogya. Dari
sekian banyaknya tempat, Luweng Grubug di Gunungkidul tentu tidak asing lagi
bagi para penduduk sekitar serta para sejarawan dan peneliti. Disitulah banyak
sekali para korban dieksekusi dan mayatnya dijebloskan ke luweng hingga hanyut
terbawa aliran sungai ke pantai selatan Jawa. Temuan ini sulit untuk dibantah
mengingat banyaknya saksi hidup baik dari warga setempat sampai para tentara
yang ditugaskan menjadi eksekutor dimintai keterangan. Organisasi masyarakat
Lakpesdam dibawah Nadhlatul Ulama (NU) sendiri memimpin pendataan korban 65 di
wilayah Gunungkidul. Belum lagi ditambah korban dari wilayah Yogya yang
lain,menyentuh ke jumlah seribu orang tentu saja bukan mustahil.
Sintong Panjaitan memang bukan
komandan tunggal dan satu-satunya yang melakukan pelanggaran HAM 65 seperti
ini. Ada banyak sekali komandan-komandan yang ditugaskan dan diteruskan kepada
para prajuritnya untuk membunuh orang-orang simpatisan PKI, Sukarnois, bahkan
yang hanya dituduh saja. Tetapi kehadiran Sintong Panjaitan dalam Simposium 65 dan
menjelaskan terkait pembelaan jumlah korban jiwa ini dalam kapasitas perwakilan
dari TNI sangat disayangkan. Simposium harusnya menjadi momentum bersejarah
untuk semua saling jujur, saling mengungkapkan apa yang telah disembunyikan.
Peran besar Jenderal Sintong
Berpangkat terakhir sebagai
Letnan Jendral, Sintong Hamonangan Panjaitan atau umum dipanggil Sinton
Panjaitan lahir pada 4 September 1940 di Sumatera Utara. Lulus akademi militer
nasional pada tahun 1963, keterlibatannya dalam operasi G30S saat dia berumur
25 tahun dan berstatus sebagai Komandan Peleton Satu di bawah kompi Tanjung
yang beroperasi memberantas pendukung G30S di Semarang, Demak, Blora, Kudus,
Cepu, Salatiga, Boyolali, Yogyakarta hingga lereng timur Gunung Merapi.
Selepas dari operasi pembersihan
itu, ia juga mendapatkan tugas oleh kapten Feisal Tanjung untuk pergi ke Irian
Barat tahun 1969. Saat itu pemerintah Indonesia dibawah rezim Suharto
mengirimkan para tentara guna memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Berpangkat
Letnan Satu yang memimpin kesatuan Prayudha III berkekuatan 26 orang ia datang
ke Irian Barat untuk mendekati para kepala-kepala suku.
“Mengingat pentingnya peranan
kepala suku yang ikut menjadi anggota DMP (Dewan Musyawarah Pepera), maka
Prayudha mengadakan pendekatan kepada para kepala suku,” jelas Sintong dalam
buku “Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” karya Hendro
Subroto. Ya, sekaligus mengkonfirmasi bahwa transparasi dan keadilan bagi
rakyat Papua untuk menentukan nasib bangsanya sendiri ketika Pepera memang jauh
dari kata demokratis, adil dan bermartabat.
Dalam masalah aneksasi wilayah
Timor Timur oleh pemerintahan Indonesia, Sintong Panjaitan juga turut terlibat
selama operasi militer disana. Ia ketika itu diangkatnya menjadi Panglima Komando
Daerah Militer IX/Udayana yang mencakup Provinsi Timor Timur. Aksi militernya
di Timor Leste terhenti ketika Insiden Dili atau lebih dikenal sebagai
Pembantaian Santa Cruz. Para pendemo umumnya adalah mahasiswa yang memprotes
kematian SebastiĆ£o Gomes setelah ditembak oleh tentara Indonesia. Mereka
mengantarkan prosesi pemakaman sambil menggelar demonstrasi lengkap dengan
spanduk pemimpin kemerdekaannya yaitu Xanana Gusmao. Pada saat prosesi
pemakaman itulah para tentara Indonesia termasuk Sintong Panjaitan melancarkan
serangan dengan menembaki semua mahasiswa. 271 tewas, 382 terluka, dan 250
menghilang.
Buntutnya, kemarahan dunia
Internasional terjadi akibat korban dari negara lain juga berjatuhan. Sintong
Panjaitan selaku pangdam bertanggungjawab dan diadili di Pengadilan Sipil
Amerika Serikat karena salah satu Ibu dari korban yaitu Kamal Bamadhaj, Helen
Todd telah menuntutnya. Ia diadili di Amerika Serikat saat dirinya sekolah
disana. Oleh Pengadilan Sintong dijatuhi denda sebesar 4 juta dollar AS sebagai
kompensasi dan 10 juta dollar AS sebagai ganti rugi. Sampai saat ini belum
terkonfirmasi bahwa Sintong membayar sepeserpun dari denda tersebut.
Akhir karier militernya
disebut-sebut karena insiden tersebut yang menyeret dunia Internasional untuk
mengetahui peristiwa di Dili. Ia dicopot dari jabatannya sebagai pangdam untuk
Timor Timor.
Simposium untuk siapa?
Banyak hal yang disayangkan dari
pembukaan simposium ini. Menkopolhukam Luhut Panjaitan sudah menegaskan bahwa
tidak ada permintaan maaf. Ini tentu seperti sudah membatasi atau bisa dibilang
sudah menelurkan hasil akhir sebelum acara dimulai ke sesi lebih lanjut. Dalam
tajuk simposium itu juga bertuliskan melalui pendekatan sejarah. Lalu,
bagaimana bisa memberi kesimpulan dengan buru-buru menyatakan tidak adanya
permintaan maaf kalau saja proses dialog pendekatan sejarah belum dimulai?
Lalu untuk apa simposium ini?
Bisa dilihat mungkin dari sudut pandang pendekatan. Bagaimanapun acara ini
adalah yang pertamakali sejak 50 tahun peristiwa 65 itu terjadi dan selama itu
juga negara bungkam. Para penyintas dan akademisi peneliti untuk pertama
kalinya bisa bertatap dengan pihak berwenang untuk membicarakan masalah ini.
Negara perlu perlahan-lahan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan tentu
saja mengakuinya apabila telah melakukan kesalahan besar.
Dua hari Simposium Tragedi 65 menelurkan
beberapa kesimpulan bersama antara lain; (1) Pengakuan bahwa kita belum mampu
mengelola bangsa yang majemuk. (2) Mengakui adanya aksi horizontal yang
melibatkan negara. (3) Menyadari bahwa ada pelanggaran hak asasi manusia yang
melukai bangsa hingga sekarang. (4) Tragedi 65 telah telah menyebabkan
pembunuhan dalam jumlah yang besar karena belasan ribu orang dibuang dipenjara
dan disiksa tanpa proses peradilan. (5) Terjadi perampasan hak dasar bagi warga
negara yang diindikasikan sebagai eks anggota PKI.
Tetapi bukankah dari sederet
kesimpulan tersebut sebenarnya merujuk pada permintaan maaf negara atas
keterlibatannya di peristiwa 65? Lalu mengapa harus masih menegaskan untuk
tidak meminta maaf? Kiranya negara berproses. Bagaimanapun, acara mengenai
tragedi 65 ini adalah yang pertama diselenggarakan oleh pemerintah meskipun
pada kali pertama ini Simposium lebih cocok untuk Jenderal Sintong Panjaitan dengan
pernyataannya yang mengejutkan dan tumpang tindih.
0 komentar:
Posting Komentar