Zakir Abdul
Karim Naik, penceramah asal India paling militan di abad ke-21 tengah
berkunjung ke Indonesia pada Juli 2017. Kehadirannya tentu dinanti oleh
sebagian besar orang yang menggandrungi metode dakwahnya.
Popularitas
Zakir Naik tak bisa dilepaskan dari rekaman video ceramahnya yang banyak
berserak di situs Youtube. Jika Anda memperhatikan, format ceramah Zakir Naik
yang paling lazim adalah dalam sebuah sesi di mana ia berbicara panjang lebar
mengenai perspektifnya, lalu kemudian baru membuka sesi tanya jawab.
Dalam
sesi tanya jawab yang kemudian banyak disebut sebagai “debat” tentu sudah dapat
ditebak siapa pemenangnya. Zakir Naik dengan terukur dan menohok kerap dengan
mudah menundukkan para penanya. Terlebih yang membikin memukau lagi, tak jarang
menampilkan para penanya dari berbagai latar belakang agama meski yang paling
mayoritas adalah Kristen dan Hindu. Naik bahkan tak segan mengutip banyak ayat
dalam kitab Hindu maupun Kristen yang makin menambah memukai pertunjukan Naik
di atas panggung.
Di
Indonesia, sebagaimana yang lazim ia lakukan di banyak negara, Naik mengadakan
sesi tanya jawab. Sudah dapat ditebak pula, banyak penanya asal Indonesia yang
tunduk “kalah” di hadapan Naik ketika menanyakan atau meragukan perihal
klaim-klaim agama. Ada pula yang sampai mualaf.
Tapi,
bukan berarti metode debat, atau jika tak layak memenuhi debat sebut saja tanya
jawab, Zakir Naik seperti ini tak bisa dikritisi.
Dari
banyaknya video ceramah yang banyak “memenangkan” pertarungan itu, ada satu
yang sengaja saya pilih secara subjektif karena menarik perhatian. Video itu
menampilkan ceramah Naik di Jepang yang seperti biasa, menghadirkan sesi debat.
Lalu,
seorang perempuan Jepang ngacung untuk mengajukan pertanyaan kepada Zakir Naik.
Perempuan itu bertanya tentang bagaimana bisa seorang Nabi Muhammad melakukan
perjalanan ke Yerusalem hanya dalam waktu semalam saja yang kemudian
diperingati sebagai peristiwa Isra Miraj? Bagi perempuan Jepang itu, cerita
tersebut adalah sebuah kebohongan besar yang nyata kepada banyak orang.
Tiba
ketika Zakir Naik merespon, ia mengambil sebuah perumpamaan di Alkitab ketika
Nabi Musa membelah laut, sebuah narasi keagamaan yang juga diamini dan familiar
oleh pemeluk Yahudi maupun Nasrani, tak cuma Islam.
Tetapi
perempuan tersebut buru-buru menginterupsi bahwa dirinya juga tidak sedang
hipokrit mempercayai kisah-kisah dalam Alkitab. Ia memandang setara bahwa
cerita tersebut adalah kebohongan juga, tak lebih dan tak kurang.
Mengetahui
interupsi jawaban perempuan tersebut, tiba-tiba Zakir Naik memotong, "Aku
tahu, aku sedang memberikan jawabannya, aku belum menyelesaikan jawabannya
saudari" Zakir Naik melanjutkan, "Kami percaya bahwa nabi-nabi Tuhan
melakukan mujizat," sehingga kisah tentang Nabi Muhammad pergi ke
Yerusalem dalam semalam adalah benar adanya karena sebuah mukjizat.
"Apakah
Mukjizat itu? Mukjizat adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah
dan logika. Mukjizat berada di luar kemampuan normal manusia." pungkas
Zakir Naik.
Sampai
habis, tak ada penjelasan ilmiah sebagaimana yang ditanyakan oleh perempuan
Jepang itu. Mukjizat tampaknya menjadi jawaban paling maksimal yang bisa
dilontarkan oleh Zakir Naik. Ia lebih memilih mengomeli si penanya agar tak menginterupsi
penjelasannya mengenai mukjizat, alih-alih menjawab pertanyaan.
"Jadi,
ketika manusia melakukan sesuatu yang tidak bisa dinalar dengan logika atau
secara sains, itulah yang disebut mukjizat." jelasnya lagi.
Para
penggemar Zakir Naik tampaknya cepat puas. Video tersebut oleh pengunggahnya
diberi judul "Ibu Jepang ini
Mengatakan Muhammad SAW Berbohong"
yang sampai tulisan ini dibuat, telah ditonton lebih dari 1,7 juta kali.
Mukjizat Bukan Hal Baru
Definisi
mukjizat yang disebut Zakir Naik sebenarnya tak ada bedanya dengan mukjizat
yang ada pada tiap agama, dongeng legenda, atau mistisisme yang pernah ada di
muka bumi.
Ketika umat
Yahudi mempercayai bahwa Musa membawa mereka menyeberangi Laut Merah menuju
tanah Israel, ketika umat Kristen percaya Yesus mampu membangkitkan orang mati,
ketika Candi Prambanan hanya diselesaikan dalam waktu semalam saja, ketika
Tangkuban Perahu adalah sebuah perahu yang terbalik, ketika batu diyakini
sebagai seorang anak yang dikutuk oleh ibunya karena durhaka, ketika Pulau
Samosir di Danau Toba terbentuk karena kutukan, ketika orang pertama Suku Asmat
adalah sebuah patung kayu yang dihembuskan nyawa oleh-Nya, ketika Sungai
Brantas terbentuk karena goresan tongkat orang sakti, dan banyak lagi.
Dalam nalar
mukjizat, kisah-kisah di atas sama kedudukannya. Ada banyak yang mempercayai
itu, ada pula yang meninggalkan. Yang jelas, masing-masing pemeluk meyakini dan
mengimani kisah tersebut sebagai sebuah kebenaran.
Lantas
apa yang membikin cerita-cerita di atas lebih tinggi derajatnya disbanding cerita
serupa lainnya? Atau, apa haknya sesama pemeluk cerita tersebut saling berebut
legitimasi dan saling menjatuhkan cerita-cerita di atas? Bukankah itu hanya
sebuah kesia-siaan belaka. Dari sini, apa yang ditunjukkan oleh Zakir Naik tak
lebih hanyalah sekedar debat kusir belaka. Menggelitik dan hipokrit.
Mukjizat
yang kadang juga bisa disebut sebagai sebuah “kebetulan” jelas bukan sebuah
bagian dari ilmu sains. Kalaupun mau dipaksakan, yang ada adalah pseudoscience,
sebuah usaha menjelaskan keyakinan agar bisa seperti sains. Semua pseudoscience
punya satu kesamaan: Argumen dan penalaran yang mereka ajukan melanggar aturan
dasar penalaran ilmiah.
Sebuah
mukjizat seperti halnya yang diamini Zakir Naik sendiri, bukan sebuah
metodologi ilmu. Ia tidak dikaji untuk mengukur kebenaran secara nyata layaknya
menemukan sebuah kerangka dinosaurus atau manusia-manusia purba.
Naik tak
lebih dari penerus Ahmed Deedat, seorang pendakwah yang gayanya mirip dengan
Naik. Ia pada 2006 memang mengakui bahwa terinspirasi Deedat yang kerap
menyerang keyakinan umat Kristen.
Alih-alih
moderat, Naik punya segudang pandangan konservatif yang mengiringi dakwah
kontroversinya itu.
Misalnya dia
merekomendasikan bahwa kaum homoseks sebaiknya dihukum mati, mendukung hukum potong
tangan bagi pencuri, menyamakan musik dengan alkohol di mana sama-sama
memabukkan, mengutuk perbuatan menyanyi dan menari karena dilarang agama,
membolehkan seorang pria memukuli istri dengan “lembut” sejauh itu urusan keluarga,
menyebut teori evolusi Darwin hanyalah hipotesis dugaan yang tak terbukti, dan
banyak lagi.
Pandangan
seperti Zakir Naik makin melegitimasi bagaimana sebuah agama dipahami untuk
mengurung diri sendiri dan tanpa mau berbaur dengan dunia lain karena dianggap
salah, tidak baik dan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar