Senin, 21 April 2014

Kuasa dan kekuatan atas media

Leave a Comment

Teori Kultivasi pada intinya menjelaskan bagaimana media yang sering atau setiap hari menjadi asupan sanggup mempengaruhi dengan kuat cara pandang seseorang atau masyarakat secara massal terhadap dunia nyata. Di Indonesia kejadian nyata dari apa yang telah dijelaskan dalam teori kultivasi pernah benar-benar terjadi. Pada masa kepemimpinan Soeharto era Orde Baru tersebut, setiap tanggal 30 September ada satu film yang selalu ditayangkan di stasiun televisi nasional TVRI. TVRI tersebut selalu memutar satu film yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI setiap tahun. Film tersebut menyajikan adegan yang berdarah dari penyiksaan para jenderal, juga digambarkan dengan tawa puas para penyiksa, hingga pengambilan mayat korban tragedi yang terjadi pada tanggal terakhir di bulan September, 47 tahun silam. Film tersebut didanai dan dikelola langsung oleh PPFN (Pusat Produksi Film Nasional) dengan restu dan mandat Soeharto. Presiden Soeharto memerintahkan TVRI untuk menayangkan film itu setiap tanggal 30 September. Murid-murid sekolah juga diwajibkan menonton film tentang pemberontakan PKI versi Soeharto atau Orde Baru ini. Dalam perkembangan dan dampaknya, film ini bisa dikatakan sebagai bentuk propaganda yang sukses memukul telak lawan politik Soeharto, dengan harapan agar paham komunis beserta seluruh afiliasinya tidak akan pernah lagi muncul dan dibenci rakyat. Tayangan tersebut diharapkan seluruh rakyat Indonesia menjadi semakin paham bahwa Partai Komunis Indonesia yang pernah berjaya tersebut adalah sekumpulan orang-orang jahat dan buruk. 

Sebenarnya bukan hanya media televisi saja yang dijadikan Soeharto sebagai alat propaganda terhadap PKI. Karena hampir semua elemen pada masa kekuasaanya sangat sensitif terhadap PKI. Bentuk-bentuk kebijakan sangat syarat dengan anti-PKI. Namun yang menjadikan ini bentuk nyata dari teori kultivasi adalah banyak hal dan fakta sejarah yang dibelokkan. Dalam film tersebut sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu. Memang kondisi PKI terhadap rakyat Indonesia seperti yang ditayangkan di film. Namun ada beberapa adegan yang berlebihan. Upaya-upaya semacam itu memang sengaja dilakukan sejak Soeharto tampil sebagai penumpas PKI dan kemudian berhasil menggantikan Soekarno sebagai presiden. Soeharto ingin membentuk opini publik bahwa dialah pahlawan penumpas kejahatan. Dengan bermodal peristiwa pembunuhan enam jenderal dan hanya menyisakan Soeharto sebagai satu-satunya yang tidak diculik dan dibunuh, ia berhasil mengerahkan kekuatan militer untuk memberitahu masyarakat bahwa PKI akan melakukan kudeta besar dengan cara perang. Pada saat itu jumlah anggota partai tersebut sangat banyak hingga jutaan dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Ditambah partai politik berbasis agama dan nasionalis mulai resah dengan semakin banyaknya dukungan masyarakat terhadap PKI. Umumnya mereka takut pada pemilu mendatang PKI memenangkan pemilu. Ketakutan dan sentimen semacam itu juga dirangkul oleh Soeharto untuk membantu membersihkan PKI di Indonesia. Pada operasi pembersihan inilah ratusan ribu nyawa rakyat Indonesia melayang dibantai oleh elemen-elemen masyarakat non-PKI yang sudah diberi izin oleh TNI AD untuk menyiksa, membantai semua anggota dan simpatisan PKI. Banyak juga diantara mereka ditahan tanpa proses pengadilan. Para non-komunis sekalipun banyak yang menjadi korban pembantaian akibat kesalahan identifikasi atau hanya sekedar menjadi korban provokasi. Tercatat ratusan ribu sampai jutaan orang meninggal karena operasi pembantaian massal yang digelar para militer dan masyarakat anti-PKI di bawah komando Soeharto. Semangat anti-kolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik. Banyak warga mengeluhkan tentang pekatnya bau busuk akibat banyaknya mayat-mayat yang berserakan. Sungai kecil dan besar telah benar benar tersumbat atau meluapnya air oleh tumpukan mayat yang dibuang. Pada kejadian tersebut, studi CIA mengungkapkan bahwa Indonesia masuk dalam salah satu peringkat pembunuhan massal terburuk di abad ke-20 oleh para anti-PKI. Puncaknya adalah pelarangan PKI dan ajaran ideologi Marxisme termasuk organisasi terkaitnya.

Tempo pada september tahun 2000 silam membuat jajak pendapat tentang pengaruh film yang disutradarai Arifin C. Noer ini. Hasilnya, indoktrinasi lewat buku sejarah dan media propaganda sunguh dahsyat. Responden dari 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta) menjadi begitu konservatif, menolak semua yang berbau PKI dan komunis.

Menurut sebagian besar responden, komunisme itu paham yang selalu antiagama (69 persen) dan sangat radikal (24 persen). Meskipun komunisme sudah ditumpas puluhan tahun silam dari bumi Indonesia banyak yang masih percaya ia akan bangkit kembali (47 persen). Karena itu, separuh responden berpendapat sebaiknya komunisme tak diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Buku-buku tentang komunisme juga sebaiknya dilarang beredar.

Keadaan di tahun-tahun berikutnya dan sampai saat ini nampaknya tidak banyak berubah meskipun era Orde Baru juga sudah tumbang. Masih banyak diantara masyarakat yang memandang sinis dan suatu kesalahan dengan adanya PKI dan komunisme. Beberapa bulan yang lalu para eks tapol (tahanan politik) PKI yang usianya sudah diatas tujuh puluh tahun bertemu untuk sekedar berkumpul dan temu kangen. Namun beberapa warga dan ormas FPI mendatangi dan membubarkan paksa dengan alasan takut ajaran komunis hendak dibangkitkan. Bahkan pihak kepolisian tampak mendukung dengan tunduk untuk membubarkan dan menangkap para kakek dan nenek-nenek tersebut. Minimnya pengetahuan sejarah dan propaganda Orde Baru nampaknya masih kuat melekat sehingga menciptakan phobia dan ketakutan sendiri di kalangan mereka yang fanatik buta. Bagaimanapun juga PKI adalah bagian dari sejarah Indonesia. Partai komunis terbesar yang melancarkan serangan-serangan anti-kolonialisme dan anti-kapitalisme dengan menjadi musuh besar negara-negara Eropa dan Amerika yang sedang berkoloni di banyak wilayah negara.

Teori kultivasi mengemukakan bahwa realitas pada media dianggap sebagai realitas yang mutlak sesungguhnya terjadi di kenyataan. Kejadian yang disajikan oleh media mana pun (koran, televisi, radio, dan internet) dianggap sebagai representasi keadaan sesungguhnya di masyarakat. Bagi penguasa, media adalah kendaraan yang ampun untuk mengontrol dan menggiring masyarakat kepada suatu kepatuhan kepentingan pengusa. Di era Soeharto sangat jelas memanfaatkan kekuatan media sebagai corong paling mujarab untuk melancarkan propaganda dan hegemoni.

0 komentar:

Posting Komentar