Teori Kultivasi pada intinya
menjelaskan bagaimana media yang sering atau setiap hari menjadi asupan sanggup
mempengaruhi dengan kuat cara pandang seseorang atau masyarakat secara massal
terhadap dunia nyata. Di Indonesia kejadian nyata dari apa yang telah
dijelaskan dalam teori kultivasi pernah benar-benar terjadi. Pada masa
kepemimpinan Soeharto era Orde Baru tersebut, setiap tanggal 30 September ada
satu film yang selalu ditayangkan di stasiun televisi nasional TVRI. TVRI
tersebut selalu memutar satu film yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI setiap
tahun.
Film tersebut menyajikan adegan yang berdarah dari penyiksaan para jenderal,
juga digambarkan dengan tawa puas para penyiksa, hingga pengambilan mayat
korban tragedi yang terjadi pada tanggal terakhir di bulan September, 47 tahun
silam. Film tersebut didanai dan dikelola langsung oleh PPFN (Pusat Produksi
Film Nasional) dengan restu dan mandat Soeharto. Presiden Soeharto
memerintahkan TVRI untuk menayangkan film itu setiap tanggal 30
September. Murid-murid sekolah juga diwajibkan menonton film tentang
pemberontakan PKI versi Soeharto atau Orde Baru ini. Dalam perkembangan dan
dampaknya, film ini bisa dikatakan sebagai bentuk propaganda yang sukses
memukul telak lawan politik Soeharto, dengan harapan agar paham komunis beserta
seluruh afiliasinya tidak akan pernah lagi muncul dan dibenci rakyat. Tayangan
tersebut diharapkan seluruh rakyat Indonesia menjadi semakin paham bahwa Partai
Komunis Indonesia yang pernah berjaya tersebut adalah sekumpulan orang-orang
jahat dan buruk.
Sebenarnya bukan hanya media
televisi saja yang dijadikan Soeharto sebagai alat propaganda terhadap PKI.
Karena hampir semua elemen pada masa kekuasaanya sangat sensitif terhadap PKI.
Bentuk-bentuk kebijakan sangat syarat dengan anti-PKI. Namun yang menjadikan
ini bentuk nyata dari teori kultivasi adalah banyak hal dan fakta sejarah yang
dibelokkan. Dalam film tersebut sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat
bagaimana peran PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu. Memang kondisi PKI
terhadap rakyat Indonesia seperti yang ditayangkan di film. Namun ada beberapa
adegan yang berlebihan. Upaya-upaya semacam itu memang sengaja dilakukan sejak
Soeharto tampil sebagai penumpas PKI dan kemudian berhasil menggantikan
Soekarno sebagai presiden. Soeharto ingin membentuk opini publik bahwa dialah
pahlawan penumpas kejahatan. Dengan bermodal peristiwa pembunuhan enam jenderal
dan hanya menyisakan Soeharto sebagai satu-satunya yang tidak diculik dan
dibunuh, ia berhasil mengerahkan kekuatan militer untuk memberitahu masyarakat
bahwa PKI akan melakukan kudeta besar dengan cara perang. Pada saat itu jumlah
anggota partai tersebut sangat banyak hingga jutaan dan tersebar hampir di
seluruh wilayah Indonesia. Ditambah partai politik berbasis agama dan
nasionalis mulai resah dengan semakin banyaknya dukungan masyarakat terhadap
PKI. Umumnya mereka takut pada pemilu mendatang PKI memenangkan pemilu.
Ketakutan dan sentimen semacam itu juga dirangkul oleh Soeharto untuk membantu
membersihkan PKI di Indonesia. Pada operasi pembersihan inilah ratusan ribu
nyawa rakyat Indonesia melayang dibantai oleh elemen-elemen masyarakat non-PKI
yang sudah diberi izin oleh TNI AD untuk menyiksa, membantai semua anggota dan
simpatisan PKI. Banyak juga diantara mereka ditahan tanpa proses pengadilan.
Para non-komunis sekalipun banyak yang menjadi korban pembantaian akibat
kesalahan identifikasi atau hanya sekedar menjadi korban provokasi. Tercatat
ratusan ribu sampai jutaan orang meninggal karena operasi pembantaian massal
yang digelar para militer dan masyarakat anti-PKI di bawah komando Soeharto.
Semangat anti-kolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas
bangsa. Kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk
menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik. Banyak warga mengeluhkan
tentang pekatnya bau busuk akibat banyaknya mayat-mayat yang berserakan. Sungai
kecil dan besar telah benar benar tersumbat atau meluapnya air oleh tumpukan
mayat yang dibuang. Pada kejadian tersebut, studi CIA mengungkapkan bahwa Indonesia
masuk dalam salah satu peringkat pembunuhan massal terburuk di abad ke-20
oleh para anti-PKI. Puncaknya adalah pelarangan PKI dan ajaran ideologi
Marxisme termasuk organisasi terkaitnya.
Tempo pada
september tahun 2000 silam membuat jajak pendapat tentang pengaruh film yang
disutradarai Arifin C. Noer ini. Hasilnya, indoktrinasi lewat buku sejarah dan
media propaganda sunguh dahsyat. Responden dari 1.110 pelajar SMA di tiga kota
(Surabaya, Medan, dan Jakarta) menjadi begitu konservatif, menolak semua yang
berbau PKI dan komunis.
Menurut sebagian besar
responden, komunisme itu paham yang selalu antiagama (69 persen) dan sangat
radikal (24 persen). Meskipun komunisme sudah ditumpas puluhan tahun silam dari
bumi Indonesia banyak yang masih percaya ia akan bangkit kembali (47 persen).
Karena itu, separuh responden berpendapat sebaiknya komunisme tak diajarkan
sebagai ilmu pengetahuan. Buku-buku tentang komunisme juga sebaiknya dilarang
beredar.
Keadaan di tahun-tahun
berikutnya dan sampai saat ini nampaknya tidak banyak berubah meskipun era Orde
Baru juga sudah tumbang. Masih banyak diantara masyarakat yang memandang sinis
dan suatu kesalahan dengan adanya PKI dan komunisme. Beberapa bulan yang lalu
para eks tapol (tahanan politik) PKI yang usianya sudah diatas tujuh puluh
tahun bertemu untuk sekedar berkumpul dan temu kangen. Namun beberapa warga dan
ormas FPI mendatangi dan membubarkan paksa dengan alasan takut ajaran komunis
hendak dibangkitkan. Bahkan pihak kepolisian tampak mendukung dengan tunduk untuk
membubarkan dan menangkap para kakek dan nenek-nenek tersebut. Minimnya
pengetahuan sejarah dan propaganda Orde Baru nampaknya masih kuat melekat
sehingga menciptakan phobia dan ketakutan sendiri di kalangan mereka yang
fanatik buta. Bagaimanapun juga PKI adalah bagian dari sejarah Indonesia.
Partai komunis terbesar yang melancarkan serangan-serangan anti-kolonialisme
dan anti-kapitalisme dengan menjadi musuh besar negara-negara Eropa dan Amerika
yang sedang berkoloni di banyak wilayah negara.
Teori kultivasi mengemukakan
bahwa realitas pada media dianggap sebagai realitas yang mutlak sesungguhnya
terjadi di kenyataan. Kejadian yang disajikan oleh media mana pun (koran,
televisi, radio, dan internet) dianggap sebagai representasi keadaan
sesungguhnya di masyarakat. Bagi penguasa, media adalah kendaraan yang ampun
untuk mengontrol dan menggiring masyarakat kepada suatu kepatuhan kepentingan
pengusa. Di era Soeharto sangat jelas memanfaatkan kekuatan media sebagai
corong paling mujarab untuk melancarkan propaganda dan hegemoni.
0 komentar:
Posting Komentar