Selasa, 23 September 2014

Tekanan Militer dan Agama

Leave a Comment
Bahwa peran militer di negara dunia ketiga sering menjadi alat untuk mendikte dan menekan masyarakat. Ini terutama melekat erat di era Orde Baru kemarin, dimana para elit militer yang memegang pemerintahan dan dinamika politik saat itu. Sekarang, di era reformasi, hawa sejuk kebebasan memang lebih segar terasa. Namun mental-mental orde baru hasil penerapan Dwifungsi ABRI/TNI puluhan tahun tidak serta merta menguap dari pikiran banyak masyarakat Indonesia yang berhasil “merdeka” untuk kedua kalinya di tahun 1998.

Para simpatisan pendukung Prabowo di MK. Foto oleh: Rinaldi Doang
Masih sering dijumpai kelompok-kelompok ormas dan kader-kader partai yang dalam aksinya memakai pakaian dan atribut-atribut ala militer. Bahkan ada baret komando hingga tanda lengan provost dipakai, yang sebenarnya itu juga bukan haknya. Ujungnya, ala militer semacam ini dipakai untuk mendapat simbol penegasan akan kewibawaan, power, kehormatan dan untuk disegani. 

Di kalangan masyarakat, sticker-sticker dan tanda bertuliskan anggota keluarga militer banyak ditempel di bagian kendaraan sampai rumah-rumah. Tujuannya tetap sama, agar disegani, ingin jadi bagian militer, tidak disatroni preman dsb. Meskipun belakangan, pasca Orde Baru, tempelan-tempelan ini mulai ditertibkan. Namun tetap tidak bisa dipungkiri bahwa itulah gambaran masyarakat terhadap militer Indonesia, hingga sampai membentuk pola pikir megalomania di kalangan masyarakat tentang militer.

Oleh pemerintah silam, militer memang menjadi alat dan mekanisme pertahanan terhadap segala bentuk kritik dan kebebasan. Umum didengar istilah “keamanan dan ketertiban nasional” untuk melegalkan segala bentuk penutupan kebebasan berpendapat dan bersuara kritis. Oleh sebabnya umum juga tindakan-tindakan kekerasan, penculikan bagi masyarakat yang melawan kehendak penguasa. Diluar kemauan penguasa, pendirian-pendirian organisasi, partai politik, sampai pada kebijakan-kebijakan rejim juga secara total diblokir. Peran militer sebagai alat mendikte dan menekan masyarakat begitu besar. 

Pasca runtuhnya rejim Orde Baru, alat penggerak untuk mendikte dan menekan masyarakat yang ternyata selalu dibutuhkan penguasa juga ikut bergeser. Dalam satu dekade lebih ini, institusi berbasis agama memainkan hal tersebut. Indikatornya adalah, negara sering tidak hadir saat ormas-ormas berbasis agama yang arogan melancarkan tindakan-tindakan penghakiman terhadap masyarakat hanya karena tidak sesuai dengan kehendak mereka. Aksi-aksi ini tidak jauh dari menyoal penerapan agama dalam masyarakat yang ideal menurut versi mereka. Dan pihak yang diserang (terlepas dari pertentangan agama) tidak mendapatkan haknya untuk dilindungi keselamatan jiwanya sebagai warga negara.

Posisi negara justru berada di bawah ormas-ormas yang arogan dan beringas ini. Aparat bahkan sering sekali menuruti apa kemauan ormas dan justru menyarankan pihak yang diserang untuk berhenti, mengikuti kemauan ormas, atau membubarkan diri. Di posisi ini jelas bahwa negara tidak bisa menempatkan diri untuk netral melindungi hak-hak warganya. Tuntutan-tuntutan dan paksaan ormas tersebut juga tidak fokus menyoal kesenjangan sosial, bobroknya birokrasi, pelanggaran hak asasi manusia, isu-isu intoleransi dan keberagaman, atau berada di garda terdepan pemberantasan korupsi yang mengakar di kalangan masyarakat. Sebaliknya, tidak jarang malah bentrok dengan mereka yang berjuang dan mendiskusikan hal-hal tersebut.  

Atas dasar itulah, di era reformasi ini, alat untuk mendikte dan menekan masyarakat adalah ormas-ormas arogan dan beringas yang berbasis agama. Bagi mereka para anggota, memakai simbol-simbol agama dalam aksinya adalah simbol keberanian, wibawa, dan merasa punya hak lebih untuk membersihkan. Ini kemudian menjadi alat ampun baru yang sampai saat ini terbukti masih menciptakan teror bagi masyarakat. Terlebih asumsi bahwa mengkritik sikap-sikap mereka akan dianggap memusuhi agama. Isu-isu yang sensitif ini sukses digunakan dan negara sampai detik ini masih terkesan memelihara dan merawat.

Massa Pendukung Front Pembebasan Sandinista ketika merayakan kemenangan Pemilu. Sumber: radiomaranatha.fm

Negara juga bisa menggunakan kombinasi militer dan agama untuk mendikte dan menekan. Seperti pada masa Sandinismo di Nikaragua, dimana peran agama lewat Gereja Nikaragua (sebelum konferensi Medellin 1968) yang sangat tradisional dan secara sosial sangat konservatif yang terang-terangan mendukung kediktatoran kejam rejim Somoza dan militernya. Pada tahun 1950, para uskup di sana mengeluarkan suatu pernyataan yang memaklumi bahwa semua bentuk kekuasaan berasal dari Tuhan dan karena itu umat Kristen wajib patuh pada pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan ketika diktator Anastasio Somoza yang mati dibunuh oleh penyair Rigoberto Lopez tahun 1956, para uskup malah mempersembahkan penghormatan terakhir kepada tiran yang mati itu dengan gelar “Pangeran Gereja”. Inilah contoh dari bentuk penggunaan kombinasi militer dan agama. 

Negara-negara dunia ketiga dan tirani masih menggunakan "militer" dan "agama" menjadi simbol "power", simbol wibawa, dan simbol kehormatan. Benar bahwa tugas militer untuk menjaga kedaulatan suatu negara, maka pantas untuk dibanggakan dan dielu-elukan. Namun militer di Indonesia ini digunakan juga untuk menekan masyarakatnya sendiri yang akhirnya ditakuti. Oleh karena ditakuti, militer menjadi simbol kekuatan. 

Tidak heran bahwa ormas-ormas arogan yang suka beringas akhirnya senang menggunakan simbol-simbol tersebut. Ciri mereka, kalo tidak bergaya sok agamis, ya bergaya sok militer dengan seragam loreng guna menciptakan kesan wibawa, kehormatan dan ditakuti. Penyakit militerisme masih dijangkit oleh banyak masyarakat di negara berkembang ini.

0 komentar:

Posting Komentar