Bahwa
peran militer di negara dunia ketiga sering menjadi alat untuk mendikte dan
menekan masyarakat. Ini terutama melekat erat di era Orde Baru kemarin, dimana
para elit militer yang memegang pemerintahan dan dinamika politik saat itu. Sekarang,
di era reformasi, hawa sejuk kebebasan memang lebih segar terasa. Namun
mental-mental orde baru hasil penerapan Dwifungsi ABRI/TNI puluhan tahun tidak
serta merta menguap dari pikiran banyak masyarakat Indonesia yang berhasil
“merdeka” untuk kedua kalinya di tahun 1998.
Para simpatisan pendukung
Prabowo di MK. Foto oleh: Rinaldi Doang
|
Masih sering dijumpai kelompok-kelompok
ormas dan kader-kader partai yang dalam aksinya memakai pakaian dan
atribut-atribut ala militer. Bahkan ada baret komando hingga tanda lengan
provost dipakai, yang sebenarnya itu juga bukan haknya. Ujungnya, ala militer
semacam ini dipakai untuk mendapat simbol penegasan akan kewibawaan, power,
kehormatan dan untuk disegani.
Di kalangan masyarakat,
sticker-sticker dan tanda bertuliskan anggota keluarga militer banyak ditempel
di bagian kendaraan sampai rumah-rumah. Tujuannya tetap sama, agar disegani, ingin
jadi bagian militer, tidak disatroni preman dsb. Meskipun belakangan, pasca
Orde Baru, tempelan-tempelan ini mulai ditertibkan. Namun tetap tidak bisa
dipungkiri bahwa itulah gambaran masyarakat terhadap militer Indonesia, hingga
sampai membentuk pola pikir megalomania di kalangan masyarakat tentang militer.
Oleh pemerintah silam, militer memang
menjadi alat dan mekanisme pertahanan terhadap segala bentuk kritik dan
kebebasan. Umum didengar istilah “keamanan dan ketertiban nasional” untuk
melegalkan segala bentuk penutupan kebebasan berpendapat dan bersuara kritis.
Oleh sebabnya umum juga tindakan-tindakan kekerasan, penculikan bagi masyarakat
yang melawan kehendak penguasa. Diluar kemauan penguasa, pendirian-pendirian
organisasi, partai politik, sampai pada kebijakan-kebijakan rejim juga secara
total diblokir. Peran militer sebagai alat mendikte dan menekan masyarakat
begitu besar.
Pasca runtuhnya rejim Orde Baru, alat
penggerak untuk mendikte dan menekan masyarakat yang ternyata selalu dibutuhkan
penguasa juga ikut bergeser. Dalam satu dekade lebih ini, institusi berbasis
agama memainkan hal tersebut. Indikatornya adalah, negara sering tidak hadir
saat ormas-ormas berbasis agama yang arogan melancarkan tindakan-tindakan
penghakiman terhadap masyarakat hanya karena tidak sesuai dengan kehendak
mereka. Aksi-aksi ini tidak jauh dari menyoal penerapan agama dalam masyarakat
yang ideal menurut versi mereka. Dan pihak yang diserang (terlepas dari
pertentangan agama) tidak mendapatkan haknya untuk dilindungi keselamatan
jiwanya sebagai warga negara.
Posisi negara justru berada di
bawah ormas-ormas yang arogan dan beringas ini. Aparat bahkan sering sekali
menuruti apa kemauan ormas dan justru menyarankan pihak yang diserang untuk
berhenti, mengikuti kemauan ormas, atau membubarkan diri. Di posisi ini jelas
bahwa negara tidak bisa menempatkan diri untuk netral melindungi hak-hak
warganya. Tuntutan-tuntutan dan paksaan ormas tersebut juga tidak fokus menyoal
kesenjangan sosial, bobroknya birokrasi, pelanggaran hak asasi manusia, isu-isu
intoleransi dan keberagaman, atau berada di garda terdepan pemberantasan korupsi
yang mengakar di kalangan masyarakat. Sebaliknya, tidak jarang malah bentrok
dengan mereka yang berjuang dan mendiskusikan hal-hal tersebut.
Atas dasar itulah, di era
reformasi ini, alat untuk mendikte dan menekan masyarakat adalah ormas-ormas
arogan dan beringas yang berbasis agama. Bagi mereka para anggota, memakai
simbol-simbol agama dalam aksinya adalah simbol keberanian, wibawa, dan merasa
punya hak lebih untuk membersihkan. Ini kemudian menjadi alat ampun baru yang
sampai saat ini terbukti masih menciptakan teror bagi masyarakat. Terlebih
asumsi bahwa mengkritik sikap-sikap mereka akan dianggap memusuhi agama.
Isu-isu yang sensitif ini sukses digunakan dan negara sampai detik ini masih
terkesan memelihara dan merawat.
Massa Pendukung Front Pembebasan Sandinista ketika merayakan kemenangan Pemilu. Sumber: radiomaranatha.fm |
Negara juga bisa menggunakan kombinasi militer dan agama untuk mendikte dan menekan. Seperti pada masa Sandinismo di Nikaragua, dimana peran agama lewat Gereja Nikaragua (sebelum konferensi Medellin 1968) yang sangat tradisional dan secara sosial sangat konservatif yang terang-terangan mendukung kediktatoran kejam rejim Somoza dan militernya. Pada tahun 1950, para uskup di sana mengeluarkan suatu pernyataan yang memaklumi bahwa semua bentuk kekuasaan berasal dari Tuhan dan karena itu umat Kristen wajib patuh pada pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan ketika diktator Anastasio Somoza yang mati dibunuh oleh penyair Rigoberto Lopez tahun 1956, para uskup malah mempersembahkan penghormatan terakhir kepada tiran yang mati itu dengan gelar “Pangeran Gereja”. Inilah contoh dari bentuk penggunaan kombinasi militer dan agama.
Negara-negara dunia ketiga dan tirani masih menggunakan "militer" dan "agama" menjadi simbol "power", simbol wibawa, dan simbol kehormatan. Benar bahwa tugas militer untuk menjaga kedaulatan suatu negara, maka pantas untuk dibanggakan dan dielu-elukan. Namun militer di Indonesia ini digunakan juga untuk menekan masyarakatnya sendiri yang akhirnya ditakuti. Oleh karena ditakuti, militer menjadi simbol kekuatan.
Tidak heran bahwa ormas-ormas arogan yang suka beringas akhirnya senang menggunakan simbol-simbol tersebut. Ciri mereka, kalo tidak bergaya sok agamis, ya bergaya sok militer dengan seragam loreng guna menciptakan kesan wibawa, kehormatan dan ditakuti. Penyakit militerisme masih dijangkit oleh banyak masyarakat di negara berkembang ini.
0 komentar:
Posting Komentar