Jumat, 12 Agustus 2016

Klakson Ibukota

Leave a Comment
http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/770798/big/016242000_1416807957-Kemacetan-1-20141124-Johan.jpg

Pagi itu sinar matahari pagi menerobos celah pintu kamar kost sepetak di daerah Pasar Minggu. Membangunkan saya yang baru berangkat tidur pukul setengah tiga pagi. Bergegas saya mencari handphone untuk melihat jam, ternyata sudah menunjukkan pukul sembilan lebih.

Di kamar kost ini, saya tidak sendiri. Untuk alasan menghemat biaya kost di Ibukota yang harganya selangit untuk ukuran penduduk Jawa Timur, saya menyiasati dengan menyewa satu kamar untuk berdua. Lumayan, saya hanya membayar separuh harga untuk kamar kost yang kecil dan sederhana ini.


Namun tentu ada tidak enaknya tinggal di kamar kost dengan ukuran kecil dan harus berdua seperti ini. Kasur ukuran 2x1 cm ini juga turut dibagi untuk menopang dua tubuh manusia yang berebut ingin beristirahat. Bukannya tak pernah menawar ke Bapak Kost soal penambahan kasur atau karpet, tapi tampaknya memang Bapak Kost ini tak sedang sungguh-sungguh menepati janjinya yang akan meminjamkan karpet kepada kami beberapa pekan yang lalu.

Ya, mau tak mau kesan kedua di Jakarta soal beringas dan perhitungannya soal uang saya tangkap dari gelagat Bapak Kost ini. Meskipun tak bisa langsung dijadikan tolak ukur bahwa semua pemilik kamar kost di Jakarta seperti itu. Kesan pertama yang saya dapat sebelumnya yaitu soal mahalnya tarif kost-kostan. Sebagai perbandingan, kamar kost yang saya sewa seharga 850 ribu ini apabila di Malang hanya ditarik harga 400-550 ribu.

Kata teman saya yang bermukim di Depok tentang kost-kostan di daerah tersebut, sepertinya fasilitas AC sudah menjadi standart yang kemudian jadi alasan tingginya harga sewa bulanan. Jika dibandingkan lagi minus AC, kamar kost saya ini hanya bertarif 250-350 ribu saja di Kota Malang.

Setelah bangun yang cukup siang untuk ukuran masuk kerja itu, saya bergegas mandi dan sarapan di warteg persis depan pintu gerbang kost sembari menunggu teman saya mempersiapkan diri. Tampaknya sekali lagi harus beradaptasi dengan harga-harga dari makanan tersebut.

Sekalipun kelasnya warteg, sebagai perbandingan yang biasanya di kota tempat tinggal dan kuliah seporsi bisa ditebus dengan uang lima sampai enam ribu, namun disini harus lebih dalam lagi merogoh saku untuk menebus dengan harga sembilan sampai dua belas ribu rupiah. Boleh dibilang, itu kesan ketiga.

Selesainya makan dan teman saya sudah siap, kami berangkat menggunakan angkutan kota alias angkot 36. Disini saya menemukan hal unik sekaligus membuat saya heran. Bukan soal harga, melainkan perilaku berkendara. Saya sudah tahu kalau Jakarta itu macet, televisi secara rutin menjejalkan liputan tersebut ke seluruh Indonesia Raya.

Tapi, bukan hanya macet saja, saya menemukan semua orang-orang pengguna jalan yang memakai kendaraan bermotor sampai sopir angkutan umum sangat murah sekali mengobral klakson kendaraannya.

Riuh suara klakson saling bersautan terdengar ketika lampu merah di setiap persimpangan mulai berganti hijau. Dipadukan dengan memainkan tuas gas untuk menambah kecepatan kendaraan, klakson tidak lupa mereka pencet sedalam-dalamnya dan berulang-ulang.

Atau pada saat ada kendaraan di depan yang tampak berhenti, berbelok atau menepi, dengan cepat kendaraan di belakangnya memencet dalam-dalam klaksonnya tanda ingin segera diberi jalan untuk mendahului.

Bukan tanpa alasan keheranan saya ini soal penggunaan klakson yang brutal, di Jawa Timur dan Jawa Tengah model mengklakson berulang-ulang dan memekikkan telinga ini sudah pasti diartikan dengan mengajak bertarung di jalan raya. Pengendara turun dan adu jotos.

Disini berbeda, setelah memencet tombol klakson dengan dalam dan berulang-ulang, si pengendara tersebut tetap bisa cuek tanpa dosa dan tatapan mata fokus kedepan ketika mendahului kendaraan yang diklakson dengan brutal tadi.

Coba kalau di Jawa Timur atau Jawa Tengah, bahkan klakson sekali duakali saja ketika mendahului akan bertemu saling tatap dengan menahan emosi ingin mengumpat. Atau jika tampak mengklakson lama akan mendapati umpatan kata-kata khas dan sumpah serapah kebun binatang, di Jakarta tentu tak didapati.

Bagi masyarakat yang tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur budaya gemar mengklakson ini tidak dikenal. Bukan berarti klakson tidak pernah terdengar, tapi soal gaya memainkan klakson tidak sebrutal di Jakarta. Cukup sekali dua kali klakson dibunyikan, itu sudah direspon dengan segera. Kalaupun memencet klakson dalam-dalam dan berulang-ulang itu artinya dalam situasi yang keterlaluan, darurat atau memang sedang mengajak ribut.

Tapi bagaimanapun, ini logika Jawa Timur, logika daerah asal yang ketika saya berada di daerah lain ternyata menemukan ketidaksamaan yang bagi saya mendasar. Semacam shock culture.

Mungkin alasan mereka agar cepat sampai pada tujuan, ingin didahulukan, kesal dengan perilaku pengendara lain atau ikut-ikutan gaya berklakson brutal pengendara lainnya.

Yah, itulah kesan keempat dan sekaligus paling membuat saya paling kesal. Keramahan dan kenyamanan berkendara menjadi barang langka akibat semrawutnya jalanan beserta penggunanya. Tuntutan dan rutinitas pekerjaan menjadikan manusia-manusia mesin yang sedang mengendarai mesin.


Jakarta, 12 Agustus 2016

0 komentar:

Posting Komentar