Rabu, 12 Juni 2019

Selamat Jalan Pakpuh

Leave a Comment



Di rumah, sekitar pukul 00.00 Rabu (12/6) dini hari, sambil menggenggam hape, ibuku dengan tergopoh-gopoh dan muka sendu memberitahuku.


“Ayo le berdoa. Pakpuh wis masa-masa kritis. Wis detik-detik iki.” ujar ibu kurang lebih begitu.


Aku hanya merespon dengan sepatah dua patah kata. Selebihnya diam dan menghela nafas di depan laptop. Aku tak sejalan dengan kekhawatiran ibu.



Pikirku, pakpuh masih terlalu kuat dan tak menyerah oleh penyakit stroke dan pneumonia yang menggerogoti tubuhnya dalam beberapa tahun terakhir. Toh, selama ini pakpuh memang acapkali keluar masuk rumah sakit dan masih bisa kembali beraktivitas meski jelas ada keterbatasan.


Tapi mungkin firasat ibu jauh lebih kuat. Memang, aku tak pernah melihat ibu secemas ini dalam memikirkan kondisi pakpuh sejak pertama kali masuk rumah sakit di Tulungagung pada pertengana Mei 2019. Ia makin sering uring-uringan, minta dukungan doa sana sini, dan tak pernah absen menanyakan kondisi pakpuh terkini kepada keluarga di sana.


Sudah beberapa kali pula ibu menjenguk pakpuh, baik ketika masih di Tulungagung, di rumah maupun ketika dilarikan ke Surabaya karena makin kritis. Tiap kali pulang dari menjenguk, pikirannya terus menerawang dan mencari cara agar bisa membesuk lagi, sesering mungkin.


Tapi ternyata selama ini aku menyepelekan kecemasan ibu. Pukul 6 pagi, ibu membangunkanku dan bilang bahwa pakpuh sudah meninggal dunia. Aku kaget dan sangat tidak menyangka. Ibu bilang pakpuh meninggal sekitar pukul setengah dua sampai jam 3 pagi. Padahal kami sekeluarga hari itu akan ke Surabaya pukul 10.00  untuk menjenguk pakpuh lagi.


Ketika jenazah pakpuh dimandikan, rasa duka yang mendalam seketika menghinggapi pikiranku. Menyaksikan pakpuh dalam keadaan terbujur kaku, dibolak-balikkan badannya ketika dimandikan, mataku mbrebes mili. Benar belaka bahwa rasa kehilangan yang mendalam baru terasa ketika seseorang sudah pergi, apalagi untuk selama-salamanya.


Keesokan harinya, pakpuh dimakamkan. Sebelum sampai selesai prosesi pemakaman, aku tampak lebih tegar dibanding kemarin. Tapi rasa kehilangan yang mengganjal di hati tetap kuat.


Hari-hari setelah pemakaman pakpuh, ibuku beberapa kali masih tak percaya ia ditinggal kakak kandungnya secepat ini. Ibu banyak menceritakan lika liku dan pamrih semasa pakpuh hidup.

Mungkin sama dengan apa yang dipikirkan ibu mengenang pakpuh, aku jadi mengingat-ingat kembali waktu pakpuh kerap datang ke rumah. Meski tak ajeg, dibanding saudara lainnya, pakpuh yang paling sering bertandang kesini.


Secara pribadi, hal yang paling kuingat dari sosok pakpuh adalah ketika dibawakan seperangkat komputer kira-kira waktu aku kelas 3 SD. Karena bekas, tak jarang computer ini rewel, mulai dari susah hidup sampai tiba-tiba mendadak blue screen. Apa pakpuh diam saja? Tidak, meski jika mau ia bisa.


Aku kerap diajak dari servis ke servis untuk membetulkan komputer yang mogok itu. Dari situlah aku jadi tahu dan mengenali beberapa jeroan komponen penyusun komputer khususnya dari CPU. Aku jadi berani bongkar pasang komputer, menginstall ulang windows, dan melakukan hal-hal standard lainnya yang kadang berguna untuk membantu orang lain.


Berbekal pengalaman amatiran inilah aku pernah menjajal masuk jurusan Teknik Informatika (TI) di Brawijaya pada 2011. Sayang, TI sedang naik daun kala itu dan aku tak lolos seleksi karena terlalu goblok. Ingin menjajal jalur mandiri, tapi nominal uang gedung yang ditetapkan bila diterima sudah membikin nyali ciut.


Pakpuh, selamat jalan. Semoga saya dan semua yang merasa kehilangan dapat ikhlas menerima kenyataan.

0 komentar:

Posting Komentar